Selasa, 24 Juni 2014

NASEHATI ANAK SAAT DIA BERMAIN

http://www.istanayatim.net/images/kumpulan.jpgKegembiraan anak itu saat ia tenggelam dalam asyiknya bermain. di situlah critical areanya mulai terbuka.dari wilayah kesadaran penuh masuk ke wilayah alfa-theta yang sangat sugestif. Di wilayah ini sugesti akan mudah diterima oleh pikiran bawah sadar sang anak.

Critical Area ini terbuka jika kesadaran sang anak berada antara sadar dan tidak sadar. Kondisi ini terjadi jika anak dalam keadaan relaks atau sangat fokus. Keadaan relaks dimana induksi dan sugesti bisa dilakukan terjadi ketika anak dalam keadaan tidur lalu dibangunkan.Kondisi antara tidur dan bangun (sadar dan tidak sadar inilah) seringkali dimanfaatkan untuk memasukka program kepada pikiran bawah sadar sanga anak. Sehingga perubahan perilaku anak bisa kita tanamkan dengan baik. Tanpa disadarim anak tiba-tiba berubah perilaku dan habitnya dari kebiasaan negatif menjadi positif. Metode ini biasa dilakukan dalam terapi hypnosis.

Selain itu, juga bisa dilakukan weaking hypnosis, yaitu memasukkan induksi, sugesti, atau nasehat pada saat anak dalam keadaan sadar (tidak tidur terlebih dahulu). Syaratnya anak dalam kondisi relaks. Kondisi relaks dimana critical area terbuka biasanya terjadi saat anak asyik bermain atau anak sedang sangat fokus.

Pada beberapa orang tua yang seringkali sewot karena anaknya mulai kecanduan Play Station (PS) misalnya, saya menyarankan kepada orang tua untuk ikut bermain dengan anak tersebut. Melarang anak berhenti bermain PS, padahal anak sedang asyik-asyiknya justru malah membuat anak kesal yang malah anak enggan berhenti bermain. Di sinilah orang tua sering uring-uringan. Malah ada orang tua yang langsung mencabut kabel TV dan PS-nya, yang mengakibatkan anak malah menangis dan ngamuk.Kalau sudah begini, malah sulit mengatasinya.

Saya sering mengatakan : "Tidak apa-apa bu. Ikut saja bermain. Tunjukkan bahwa ibu menyayangi dia. Dan pastikan ibu bersedia memasuki dunia anak. Sambil asyik bermain, lalu dengan mantap masukkan nasehat dan sugestinya. "Wah... Asyik ya bang mainnya. Ayo terus.... Terus.... Sebentar lagi abang bisa menang. Abang memang anak pintar... Abang memang anak hebat. Ayo terus... Nah, mulai sekarang dan seterusnya, saat abang asyik bermain PS, tidak tahu mengapa, abang merasa mengantuk, dan abang segera tidur. Anggukkan kepala jika abang mengerti".

Lihatlah.... tanpa sadar anak itu segera mengangguk. Yes.... anak itu mulai menerima induksi yang diberikan.Dan, lihatlah dia mulai mengantuk, dan tidur. Zzzzzzzzz.

Lalu, anda mematikan TV dan mesin PS, dan melihat anak tidur dengan damai. Jika sugesti ini berhasil, maka tanpa orang tua teriak-teriak, tanpa perlu marah-marah, setiap anak mulai asyik main PS, dia segera tidur dengan sendirinya.

Karenanya, saya sering menyarankan kepada orang tua untuk memberik nasehat saat anak sedang asyik bermain. Pasalnya, pada saat itulah critical area terbuka, dan sugesti lebih mudah diberikan.

http://www.istanayatim.net/images/3.jpgSeperti di Pesantren Liburan di Istana Yatim ini. Menanamkan karakter dilakukan saat anak-anak dengan semangat bermain out door low impact yang mengasyikkan, tentu saja juga diimbangi materi pendalaman yang bersifat ceramah. Ada yang bermain pecah balon, ada yang bermain tangkap belut, ada yang min pindah air, dengan berkelompok. Semuanya ceria... Semuanya senang.

Dan, inilah saatnya....
Kakak pendamping mulai memasukkan sugestinya. Diantara keriuhan tawa keceriaan anak- "anak, kakak-kakak pendamping meneriakkan kata-kata positif."Ayo, kalian pasti bisa," "Kompak, anak hebat harus kompak," " Iya gitu. Kamu memang anak hebat. Sudah dapat belut 2", "Semangat, airnya sebentar lagi penuh. Kerjasama... Ayo kerjasama."

Tanpa sadar, anak-anak tanpa menolak melakukan dengan sigap permainan ini. Dan tentu saja, sambil ketawa-ketawa.

Dunia anak memang semestinya penuh dengan derai tawa, bukan derai air mata. 
Setuju?


Penulis:
Hamim Enha


PESANTREN LIBURAN DI ISTANA YATIM

Semarak Pesantren Liburan bareng Istana Yatim semakin berkesan. Anak-anak dibebaskan berargumentasi, usai diskusi kecil atau bebas menyampaikan unek-unek tentang semua hal yang belum mereka ketahui.

http://www.istanayatim.net/images/kuliah%20subuh.jpg
Dalam keremangan senja, menghafal Al-Quran Surat Luqman.

http://www.istanayatim.net/images/kak%20nurdin%20dan%20anak%20hebat.jpg
Niky Lazuardi In Action.


http://www.istanayatim.net/images/6.jpg
The Power of Dream Bersama Kak Doni. Kak Doni kok gede banget, pasti makannya banyak ya?


http://www.istanayatim.net/images/3.jpg
Bermain dan Belajar...... Ayik......
http://www.istanayatim.net/images/7.jpg
Sesi Motivasi Bersama Kak Najmi. "ayo siapa yang mau jadi anak sukses?"

http://www.istanayatim.net/images/5.jpg
Olahraga Dulu... Biar Sehat... Satu Dua. Satu Dua. Kok satu dua terus? hehehe  

ANAK KITA ADALAH BINTANG

Berita Foto Pesantren Liburan hari ke-3 Dalam setiap penciptaan, Tuhan tidak sedang main-main. Terutama pada penciptaan manusia, Tuhan memberikan kesempurnaan di atas makhluk lainnya. Anak manusia yang telahir di dunia adalah Masterpiece Tuhan yang tiada duanya.

Lihatlah bagaimana Al-Quran mengapresiasi penciptaan manusia.

Laqod  kholaqnal insana fi ahsani taqwim
“Sungguh kami ciptakan manusia manusia dalam sebaik-baiknya bentuk. (QS. At-Tin : 4)

Tuhan menciptakan manusia dengan dibekali indera untuk mengarungi kehidupan agar mampu menaklukan dunia. Tuhan menyempurnakan dengan hati yang memandu manusia dalam mencari hakikat kebenaran, dan menemukan tujuan hidupnya, yaitu penghambaan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam.

Qul huwal ladzi ansya’akum wa ja’ala lakum al-sam’a wa al-abshara wa al-afidah. Qalilan ma tasykurun.
“Katakanlah: "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk : 23)

Setiap anak yang terlahir akan menjadi calon-calon bintang. Semakin bertambah hari, bintang-bintang itu akan semakin bersinar terang. Kecuali, jika ada yang mematikan sinar bintang-bintang  itu.

Siapa yang mematikan sinar sang bintang itu?

Kita, ya kita semua. Juga anda.

http://www.istanayatim.net/images/7.jpgSetiap kita memberikan label negatif kepada anak, seketika sinar sang bintang itu redup.  Kecerdasan anak yang seluas samudera itu dengan segera menyempit.

Maka, teruskan saja bilang anak anda “nakal”, “bandel”, “bodoh”, “goblok”, maka sinar sang bintang itu semakin hilang. Dan dengan perlahan, namun pasti, anak anda akan mewujudkan kata-kata anda tadi: menjadi anak nakal, anak bodoh, anak bodoh. Persis seperti apa yang anda labelkan buat dia.

Di Pesantren Motivasi Indonesian- Istana Yatim Nurul Mukhlisin, cahaya-cahaya sang bintang itu dinyalahkan kembali.  Kepercayaan diri sang anak dibangkitkan. Dan, selama 7 hari pendampingan pada Pesantren Liburan di Istana Yatim, Sang bintang  yang mungkin kemarin redup sindarnya akan dibuat kembali benderang.



Penulis:
Hamim Enha

Senin, 16 Juni 2014

Mendialogkan Perbedaan, Merajut Perdamaian, Membangun Kualitas Generasi Muda Berkarakter Kebangsaan


Kebangsaan merupakan konsensus bersama anak bangsa yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang menjamin adanya keberagaman suku, budaya, etnik, dan kearifan warga negaranya, sehingga Indonesia memiliki jati diri yang utuh dalam membangun peradaban dan kebudayaan agungnya.

Kendati demikian, mewujudkan relasi kebangsaaan antar identitas yang ada menghadapi tantangan tersendiri. Hal ini karena hubungan antar identitas dalam kebangsaan kerap kali menemui kendala. Keberagaman antar agama tak jarang diwarnai oleh konflik. Demikian juga halnya, penerimaan antar etnik dan suku tertentu tak sepenuhnya didasarkan kepada kesadaran kebangsaaan dalam bingkai Bhineeka Tuggal Ika dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam beberapa fragmen, masih saja dijumpai kecenderungan komunitas masyarakat yang merasa  sebagai bagian kesatuan bangsa dan negara, melainkan sebagai bagian identitas tertentu. Benturan antar identitas inilah yang kerap kali menuai konflik horizontal.

Pergumulan antar identitas tersebut dalam perspektif kajian culture studies (studi kebudayaan) memantik sikap saling melakukan representasi dan relasi saling negosiasi antara identitas. Dari sinilah muncul klaim dominan atau mayoritas. Pada ranah ini, biasanya posisi mayoritas dan kuasa yang kuat memiliki andil dalam meneguhkan diri dalam dominasi identitas ini.

Pada tahap ini sangat rentan terjadi pergesekan antar identitas dan jika tidak diwaspadai bisa terjadi kekerasan dan konflik, baik  secara vertikal maupun horisontal. Karena itu upaya mendialogkan antar identitas, baik identitas keagamaan, nasionalisme, maupun identitas tradisi perlu terus menerus dilakukan demi merajut perdamaian.

Harap diakui, memang terminologi kebangsaan sendiri abstrak. Cukup sulit merumuskan apa yang disebut sebagai bangsa. Jika Keindonesiaan dirumuskan sebagai buah dari kemerdekaan atas cengkeraman kolonial, toh tak semua wilayah di Indonesia pernah dijajah kolonial Belanda. Perwujudan negara  Indonesia lebih sebagai konsensus antar putera-puteri daerah  dari beragam etnik, agama, dan suku yang dimulai ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.

Kalaupun jika ditarik lebih jauh kepada komitmen Sumpah Palapa yang dianggap menyatukan nusantara, pun terlihat sumir karena batasan-batasan nusantara tak terdefinisikan secara pesifik.

Menurut Ben Anderson, “Bangsa” atau “Nation” merupakan Imagined Community atau komunitas yang dibayangkan. Sebuah bangsa diudentifikasi sebagai persatuan komunal yang dilandasai kesamaan cita-cita dan harapan tentang pembangunan peradaban. Tentu saja, bangsa diisi oleh beragam identitas, baik suku, etnis, dan agama. Kesemuanya melebur menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam sebuah negara yang menjamin rasa aman dan kesejahteraan sebagai warga negara. Meleburnya pelbagai identitas menjadi sebuah bangsa hadir bersamaan dengan hadirnya ide negara bangsa pasca era kolonial. Negara-negara yang mengalami penjajahan menyatukan visi menjadi negara bangsa independen dan melepaskan diri dari pengaruh penjajahnya.

Komitmen menjadi sebuah negara-bangsa merupakan buah dari saling mau menerima antar identitas yang yang dipimpin oleh “hikmat” dan “kebijaksanaan” dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Karenanya, Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah datang begitu saja, melainkan pergumulan panjang yang melibatkan identitas-identitas dan agama-agama yang ada di Indonesia.

Semangat Kebangsaan Melampaui Keagamaan
Jika ditelaah lebih lanjut, otentitas kebangsaan secara konsep praktis aplikatif relatif sulit ditemukan dalam perspektif keagamaan. Masing-masing agama memiliki formula sendiri tentang penyelenggaraan hidup berbangsa. Namun, setiap agama juga memaktubkan bahwa tendensi kenegaraan dalam agama menjadi satu-kesatuan atau nation and religion. Bahkan kerap kali keagamaan menjadi landasan dalam penyelenggaraan kenegaraan, walaupun tak tersirat dalam konstitusi.

Problem yang muncul kemudian adalah individu merasa menjadi bagian dari agama, dari pada bagian dari bangsa. Sentimen-sentimen inilah yang kerap kali mengoyak ikatan-ikatan kebangsaan, yang jika tidak diantisipasi dapat memantik ekstrimisme yang mengganggu kesatuan republik Indonesia.
Karenanya, komitmen Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus dipertahankan. Usaha-usaha merongrong kedaulatan NKRI baik karena sentimen kesukuan maupun keagamaan harus dicegah.

Selanjutnya, setiap Individu di republik ini, terutama dari generasi muda perlu mendapatkan asupan pemahaman kebangsaan yang memadahi. Kendati   memiliki semangat keagamaan yang kuat, tetapi rasa keagamaan itu justru dapat menjadi landasan untuk menopang rasa nasionalisme. Tak perlu ada dualisme antara sebagai warga bangsa atau pengikut agama. Bukan perkara yang tak mungkin jika di satu sisi, seorang individu warga menjadi bagian negara yang memiliki rasa nasionalisme yang kuat, di waktu yang sama ia menjadi pemeluk agama yang taat.

Pergulatan kebangsaan tidak hanya berkelindan dengan agama. Dalam beberapa hal faktor tradisi dan kebudayaan turut mengisi ruang diskursus kebangsaan. Karena, identitas masyarakat Indonesia ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh agama dan teritori asal daerah, tetapi juga tradisi dan budaya yang berlaku di komunitas adat daerah tersebut. Pada satu waktu, bisa saja orang Indonesia lebih merasa dari bagian tradisi tertentu dengan agama tertentu dari pada sebagai warga Indonesia.

Namun, perlu disadari, semestinya ketiga identitas tersebut melebur menjadi satu ikatan yang didasarkan pada rasa kebersamaan dalam kemerdekaan, yaitu bangsa Indonesia. Karena jika terjadi benturan antara ketiga identitas itu bakal menyebabkan guncangan yang tak terperikan. Karena itu, ketiga identitas itu harus saling mendukung dan mewujud pada satu kesatuan keindonesiaan. Agama dan tradisi semestinya menjadi “ruh” yang memberi jiwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Agama menjadi character of nation, dan Tradisi menjadi soul of nation. Dengan demikian, agama dan tradisi dapat mewarnai identitas masyarakat dalam bingkai negara bangsa.

Pancasila Sebagai Karakter Bangsa
Globalisasi, diakui atau tidak, hadir dengan dua wajah. Pada satu sisi, globalisasi menyuguhkan kemudahan dalam berkomunikasi dan bertransaksi. Juga menjanjikan kehidupan yang lebih nyaman dan layak. Namun, pada sisi yang lain, globalisasi dapat membawa pengaruh bagi tata nilai dan jati diri bangsa. Kemajuan teknologi yang datang pada era globalisasi, jika tidak diantisipasi, dapat memberikan dampatk destruktif bagi kelangsungan karakter bangsa.

Pembangunan nasional semestinya tidak melulu berorientasi pada pembangunan fisik dan infrastruktur semata. Pembangunan memang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang baik, tingkat kemiskinan yang kian turun, kualitas pendidikan yang memadai, dan ketahanan-keamanan bangsa yang terjaga. Namun, pembangunan harus juga mengarah pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa, di mana nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa terus dipegangteguhi sebagai tata nilai peradaban yang agung. Pembangunan nasional berorientasi pada pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter bangsa (character building).

Karakter merupakan sumber daya penggerak bangsa. Karakter bangsa adalah kualitas mental bangsa yang menonjol dan berpola, yang dengan karakter itulah bangsa Indonesia memiliki nilai lebih dan deferensiasi dari bangsa dan negara lainnya. Pancasila (di)hadir(kan) sebagai manifestasi karakter bangsa yang terhimpun dalam lima silanya yang menunjukkan karakter religius bangsa Indonesia (Sila 1), rasa kemanusiaan yang tinggi (Sila 2), semangat persatuan yang kuat (Sila 3), Kehendak untuk bermusyawarah dalam kehidupan yang demokratis (Sila 4),  dan cita-cita perikehidupan yang sejahtera dengan keadilan dan hukum ditegakkan (Sila 5).

Nilai-nilai luhur yang ada pada Pancasila merupakan nilai dasar yang perwujudannya menjadi karakter bangsa Indonesia. Nilai luhur yang terkandung pada Pancasila ini masuk ke segenap sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, sila pertama sampai sila kelima terbawa dalam cara hidup, pola hidup, gerak hidup seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya, kita kini menghadapi tantangan merebaknya nilai hedonisme dan individualisme sebagai ekses fenomena globalisasi. Demikian juga, perlahan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia mulai terkoyak. Gemuruh reformasi menyulut gejala primordialisme, tuntutan nilai-nilai tanpa batas, dan ancaman separatisme.

Dapat dengan mudah kita jumpai  lunturnya budaya tenggang rasa yang ditandai oleh merebaknya kekerasan, konflik horisontal atas sentimen kesukuan atau keagamaan, dan pudarnya nila sopan-santun. Pada fragmen lain, kohesi sosial kian longgar, kesetiakawanan tinggal slogan, dan muncul sikap tidak peduli terhadap lingkungan sosial.

Kita tersentak. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius dan beradab tiba-tiba seolah menjadi bangsa yang beringas dan mudah mengambil jalan pintas. Kita terhenyak, nilai-nilai keberadaban yang menjadi karakter bangsa luput dari kesadaran kita. Kita membutuhkan kembali karakter bangsa sebagai ikatan solidaritas hidup berbangsa dan bernegara.

Tak pelak, pembangunan nasional ditujukan agar bangsa memiliki kemajuan yang hakiki supaya memiliki daya saing dengan bangsa lainnya. Sedangkan pembangunan karakter menjadikan nilai lebih pada kemampuan bangsa untuk berdaya saing yang mengarah pada kemajuan bangsa secara kolektif.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi, Ir. Tifatul Sembiring, pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multi dimensional dan multi aspek. Multi dimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan. Dan bersifat multi aspek karena mencakup potensi-potensi keunggulan bangsa. Oleh sebab itu, pembangunan karakter bangsa setidaknya diarahkan kepada 4 (empat) tataran besar, yaitu untuk menjaga jati diri bangsa, untuk menjaga NKRI, untuk membentuk masyarakat yang berakhlak mulia dan untuk membentuk bangsa yang maju, mandiri dan bermartabat.

Dengan pembangunan nasional yang diselaraskan dengan pembangunan karakter bangsa, maka kita optimis bangsa Indonesia mampu bangkit menjadi bangsa yang kuat dan berkualitas.

Hal ini selaras dengan tujuan-tujuan pembangunan kependudukan dimana penduduk sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan. Pembangunan nasional semestinya memperhatikan pertumbuhan penduduk, mengingat kualitas penduduk sangat dipengaruhi sejauh apa pemerintah mampu mengendalikan kuantitas penduduk. Penduduk yang besar yang berkualitas bisa menjadi modal pembangunan. Namun, penduduk yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban pembangunan.
Tujuan penyelenggaraan negara adalah pembangunan dimensi kependudukan untuk mencapai taraf kehidupan rakyat lebih sejahtera. Jika tujuan-tujuan pembangunan kependudukan tercapai, maka Indonesia dapat mencapai window of opportunity  pada tahun 2020-2030, yaitu sebuah bonus demografi dimana tingkat kelahiran turun dan jumlah kematian turun. Pada masa itu diperkirakan Indonesia memasuki era dimana tingkat ketergantungan sangat rendah, karena penduduk relatif masih muda dan belum diikuti melonjaknya jumlah orang tua. Pada saat ada tingkat ketergantungan paling rendah itu akan mempunyai daya ungkit ekonomi paling tinggi. Jika Indonesia dapat melampaui window of opportunity ini, akan terjadi keseimbangan penduduk di tahun 2050 yang diperkirakan mencapai 298 juta jiwa, namun terjadi keseimbangan antara jumlah yang lahir dan jumlah yang meninggal, yang disebut penduduk tanpa pertumbuhan (zero population growth). Tumbuhnya kesejahteraan penduduk, terwujudnya keluarga yang bahagia, dan perkembangan kualitas manusia Indonesia yang baik adalah tujuan pembangunan itu sendiri.

Pada beberapa periode belakangan, Indonesia menempati posisi negara  ke-4 yang berpenduduk paling besar, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 juga memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang kian tinggi. 237,6 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia sekarang ini. Dibutuhkan keseriusan dalam menangani hal ini. Karena pertumbuhan penduduk dapat mempengaruhi target-target pembangunan, terutama pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Pembangunan Karakter Bangsa Dimulai dari Keluarga
Penguatan karakter bangsa digerakkan mulai dari hulu hingga hilir. Lingkup cakupannya mulai dari lingkup keluarga, lingkup pendidikan, lingkup masyarakat, dan lingkup pemerintah. Pada lingkup keluarga pembinan karakter dibiasakan semenjak balita hingga perhatian kepada lansia. Karena itu, ketika membincang pembangunan dan pembinaan karakter keluarga, maka isu yang berkembang adalah persoalan tingkat kesehatan keluarga, pengurangan angka kematian Ibu dan anak, kesehatan maternal, pemahaman kesetaraan gender, tingkat pendidikan keluarga, kesejahteraan dan ketahanan keluarga, hingga pembangunan kualitas manusia melalui penguatan keluarga.

Pada lingkup pendidikan adalah wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang dilakukan secara terintegrasi oleh para guru. Pada lingkup masyarakat, wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan para tokoh masyarakat, dan pada lingkup pemerintahan wahana pembangunan karakter bangsa keteladanan aparat penyelenggara negara dan tokoh-tokoh elit bangsa

Pembangunan karakter bangsa penting untuk dimulai dan ditanamkan di keluarga. Keluarga adalah skrup terkecil dari bangunan bangsa Indonesia. Hal ini mengingat keluarga adalah komponen paling depan yang menghadapi berbagai persoalan. Runtuhnya kohesi sosial di tengah masyarakat biasanya dimulai dari goyahnya ketangguhan keluarga. Semakin keluarga meninggalkan nilai-nilai luhur, semakin cepat bangsa mengalami pemudaran karakter bangsa. Keluarga adalah tonggak bangsa. Jika keluarga hancur, bangsa pun turut runtuh.

Di sinilah dibutuhkan etos ketangguhan keluarga untuk terus mengembangkan karakter luhur dan jati diri bangsa dengan melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada anggota keluarganya. Dengan demikian, negara semestinya juga memiliki perhatian pada pembangunan keluarga Indonesia.

Menggerakkan Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Generasi muda adalah tumpuan masa depan bangsa. Generasi muda adalah kelompok yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan nasional dan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya. Karena itu, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda. Bahkan, menentukan nasib bangsa di masa depan.

Generasi muda seringkali diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul. Namun, justru kerap kita lihat bahwa generasi muda merupakan pihak yang paling mudah terpengaruh gaya hidup hedonisme, pergaulan bebas, kebebasan tanpa batas, bahkan mencari jalan pintas, sebagai dampak destruktif globalisasi. Jika hal ini terus berlanjut tanpa upaya segera untuk mengantisipasinya sesungguhnya kita sedang menghadapi fenomena lost quality generation, lenyapnya generasi bangsa yang berkualitas.

Karena  itu, penting adanya untuk menggerakkan generasi muda untuk memperkuat jati diri dengan karakter luhur bangsa. Bahkan, mereka sendiri lah yang berperan menggerakkan pembangunan karakter bangsa itu. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang dapat diperankan oleh generasi muda, yaitu: Pertama, pembangun karakter (character builder), dimana generasi muda dapat didorong untuk membangun kembali karakter bangsa dari erosi jati diri. Kedua, pemberdaya karakter (character  enabler), yaitu generasi muda harus tampil sebagai contoh (model) dalam pembangunan karakter. Ketiga, Perekayasa karakter (character engineer) dimana generasi muda dituntut untuk mampu mengembangkan karakter dan jati diri positif bangsa dengan memperhatikan konteks dan kondisi. Maka dibutuhkan daya inovasi dan kreativitas untuk mempertahankan karakter bangsa tanpa mereduksi kemajuan.

Kini, saatnya kita menuju pada era GERAK, GEnerasi berkaRAKter. Era generasi muda yang memahami jati diri bangsa dan menjadikan karakter bangsa sebagai tata nilai yang memberikan nilai unggul pembangunan bangsa. Generasi muda yang berorientasi pada prestasi untuk menjadi para juara. Kita optimis, dengan GERAK, Generasi Berkarakter, bangsa Indonesia memiliki generasi muda yang berkualitas, berprestasi, dan berkarakter.[]

Penulis:
Hamim Enha SEI
Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni
Direktur Pesantren Motivasi Indonesia - Istana Yatim Nurul Mukhlisin

Pondok Pesantren Sebagai Basis Kewirausahaan Muslim.


Semenjak krisis ekonomi di tahun 1997, menyusul tumbangnya rezim Orde Baru oleh gelombang Reformasi di tahun 1998, bangsa ini seolah tak kuasa bergerak cepat untuk membangkitkan kembali peekonomian nasional. Di saat negara-negara lain di Asia yang juga terimbas krisis ekonomi global mulai bangkit dan mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat diperhitungkan, yaitu Cina dan India, Indonesia terlihat sarat dengan persoalan yang menyebabkan seolah tertatih-tatih. Belum lagi keterketujan yang tib-tiba ketika perjanjian melangsungkan sistem perdagangan bebas kawan Asean dan Cina atau ACFTA (Asean-China Free Trade Agrreement) mulai banyak diperbincangkan. Kita seolah limbung karena ketidaksiapan.  Pertumbuhan ekonomi memang terjadi dan ada pergerakan ke arah yang lebih baik, tetapi pergerakan ekonomi itu agaknya belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan dan pengangguran.

Data dan statement resmi negara menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi makro Indonesia menunjukkan prestasi yang signifikan. Namun sayangnya, tak ditopang dengan realitas ekonomi mikro yang semestinya juga baik. Ekonomi makro terus berkembang, sedangkan ekonomi mikro dan sektor real berjalan di tempat. Beberapa bahkan ambruk karena harga BBM dan listrik naik. Akibatnya, realitas bangsa ini terbelah dua: ekonomi papan atas memunculkan kelompok elit yang semakin kaya. Sedangkan di sisi lain, bagai piramida segitiga, kelompok yang berada di tengah dan bawah kian terpuruk. Piramida atas membangun ekonomi makro yang terus tumbuh dengan disusul PHK besar-besaran beberapa pabrik multinasional, akses pekerjaan yang kian langkah dan jumlah pengangguran bertambah. Walhasil, angka kemiskinan kian membengkak.

Meski demikian, bukan sepenuhnya negara (baca: Pemerintah) sepenuhnya disalahkan atas realitas semacam ini. Karena negara bukanlah pabrik yang maha besar yang bisa menampung setiap pencari kerja. Negara adalah administrator dan fasilitator supaya hidup berbangsa dan bernegara ini kian baik. Pemerintah setidaknya telah berusaha mencari ”siasat” agar masyarakat bawah tidak terus-terusan terpuruk pada lubang kemiskinan yang akut. Program BLT (bantuan langsung tunai), PMKM Mandiri, dan KUR adalah salah satu upaya pemerintah agar masyarakat dapat memenuhi penghidupannya.

Sebetulnya, mental dan budaya yang melekat di kehidupan masyarakat Indonesia turut andil dalam problem kesejahteraan. Terlampau banyak dari anggota masyarakat yang lebih memilih menunggu ada lowongan pekerjaan ketimbang menggerakkan tangan untuk berusaha membangun kesejahteraan dirinya. Mental pekerja (worker) di negeri ini lebih dominan dari pada kesadaran wirausaha (entrepreneurship).

Di tengah kondisi ekonomi dan sosial bangsa yang belum pulih dari beban berat krisis multidimensi ini, sudah selayaknya banyak orang yang mengubah persepsinya dari “menunggu kerja” menjadi “menjadi pengusaha”,   “menunggu nasib” menjadi “merubah nasib”. Tentu saja, “nasib” yang dimaksud di sini adalah nasib kesejahteraan, untuk diri dan bangsa, sebagaimana pesan Bung Karno, “Jangan tanya, apa yang bisa dilakukan bangsa ini untuk kamu. Tapi, tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk bangsa ini.”

Sayangnya, menumbuhkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membangun usaha sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Minat masyarakat untuk mencari kerja (job seeking) lebih besar ketimbang keinginan untuk berwirausaha (entrepreneurship). Mereka lebih memilih untuk menganggur sambil menunggu lowongan pekerjaan yang tersedia. Kalaupun mereka berhenti kerja lantara terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau sebab lainnya, mereka akan tetap menunggu peluang kerja, alias kembali menganggur. Padahal Indonesia sudah oversuplly pengangguran. Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran bukan turun, malah traffic-nya semakin naik. Itu pun setiap tahunnya harus ditambah dengan para penganggur baru lulus sekolah yang masuk dalam arena para pencari kerja.

Di Indonesia, gerakan kewirausahaan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995 yang didukung langsung oleh Pemerintah melalui INPRES No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Tujuan gerakan ini sungguh positif, yaitu menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat baik kalangan dunia usaha, pendidikan maupun aparatur pemerintah. Sayangnya, dalam perjalanannya, gerakan tersebut kurang mendapat dukungan. Memang ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan kepada pembentukan wirausahawan baru serta UKM hanya bersifat politis. Meski banyak seminar, rakor, lokakarya diadakan, namun pada akhirnya Inpres tersebut tidak lebih sekedar retorika dan tidak terinternalisasikan dalam program di instansi-instansi pemerintah, baik di bidang permodalan, perizinan, pemasaran, dan teknisnya.

Karena itu, kita patut berbangga karena kini mulai banyak pihak yang mencoba membangun kesadaran entrepreneurship di kalangan masyarakat dengan mendirikan lembaga kursus usaha, membuat pelatihan wirausaha atau seminar bisnis. Tentu saja, semangatnya tidak seperti di tahun 1995. Tetapi ada semangat baru untuk menjadikan kewirausahaan sebagai alternatif pertama dari sekian macam usaha mencari penghasilan. Juga menumbuhkan kesadaran untuk membentuk pencipta lapangan kerja (job creator) daripada minat mencari kerja semata (job seeker), usaha pihak-pihak yang mencoba membangun kesadaran kewirausahaan tersebut harus kita dukung.


Apalagi jika kesadaran semacam itu juga tumbuh di kalangan masyarakat bawah dengan membangun basis-basis ekonomi tanpa mesti meninggalkan tradisi, budaya serta agama. Bahkan budaya dan agama seharusnya menjadi inspirasi dan motivasi menguatnya ekonomi rakyat. Budaya dan agama tak hanya menjadi bagian pribadi dan spiritualitas, tapi juga menjadi aspek duniawi yang mengarahkan  pemeluknya untuk meraih aspek ilahiyyah. Keseimbangan antara dunia dan akhirat. 

Di sinilah diperlukan kepedulian dan bantuan dari banyak pihak, terutama pemerintah, perbankan dan masyarakat ekonomi atas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mikro, menengah dan kecil. Dengan terciptanya ekonomi mikro yang kuat dengan ekonomi makro yang terus berkembang, maka pondasi ekonomi negara kian sehat. Tak hanya kuat di permukaan, tapi di bawah rapuh. 

Pondok Pesantren sebagai Basis Entrepreneurship

Pondok Pesantren bukan semata-mata institusi pendidikan dan keislaman. Pondok pesantren dimiliki dan dikelola oleh masyarakat berkembang dengan mengikuti gerak laju kebutuhan masyarakat. Maka, saat ini pondok pesantren juga berperan sebagai institusi sosial, ekonomi dan politik. Politik yang disebut di sini bukanlah politik praktis, melainkan politik pemberdayaan masyarakat.

Sebagai insitusi bercorak keagamaan yang menjadi rujukan masyarakat, sudah semestinya pondok pesantren juga terlibat untuk menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat, turut andil menangani problem kemiskinan, dan menawarkan jalan keluar atas problem pengangguran, setidak-tidaknya yang berhubungan dengan kalangan pondok pesantren sendiri, seperti santri, alumni santri dan pengurus pondok.

Seperti diketahui, kompetensi santri adalah di bidang keislaman, khazanah kitab klasik dan hukum Islam (Fiqih). Kompetensi ini melekat kepada santri sebagai basis pengetahuan (knowledge) sekaligus kemampuan (skill). Sehingga alumni pondok pesantren biasanya hanya berkiprah pada bidang keagamaan itu. Sayangnya, kompetensi ini tidak terlalu mendukung jika alumni pondok pesantren (terutama yang dari pondok pesantren salafiyah/tradisional) mulai merambah dunia kerja untuk memenuhi kebutuhannya pasca pendidikan di pondok pesantren. Seringkali alumni pondok pesantren gagap jika dihadapkan pada dunia kerja riil, dan pada gilirannya malah menjadi barisan pengangguran baru.

Pendidikan di pondok pesantren sudah selayaknya juga dilengkapi dengan peningkatan skill pada bidang riil yang dapat menjamin kehidupan para santrinya jika kelak terjun ke masyarakat. Sehingga, tak semestinya alumni pondok pesantren hanya menjadi juru ceramah yang selalu mengandalkan pendapatannya dari undangan berdakwah. Alumni pondok pesantren harus menjadi pribadi-pribadi yang tangguh di bidang agama (spiritual) juga berdaya di bidang usaha (ekonomi). Alumni pondok pesantren bisa saja menjadi sosok tokoh agama yang mumpuni tetapi pengusaha yang sukses dan mencapai free finance (bebas secara keuangan). Dari sinilah perjuangan dakwah bisa ditopang dari pendapatan dan zakat yang dikeluarkan (philantrophy), bukan justru mengharpkan sumbangan dari pihak lain. Di sinilah keseimbangan materi (duniawi) dan keberagamaan (ukhrawi) menemukan bentuk manifestasinya.

Kalangan Santri pada pondok pesantren perlu mendapatkan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill) entrepreneurship yang mengantarkan mereka menjadi pengusaha-pengusaha tangguh, yang mengelola ekonomi umat, tetapi memiliki moralitas (attitude) yang terjaga.

Gejala mulai tumbuhnya pondok pesantren sebagai basis entrepreneurship sebetulnya sudah mulai meruyak. Dan ini sungguh membanggakan. Namun, sayangnya belum menjadi fenomena yang massif. Beberapa pondok pesantren memang memiliki unit-unit usaha, tetapi belum menjadi gerakan ekonomi yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan atau menjadi isnpirasi lingkungannya. Pesantren-pesantren semacam ini menjadikan unit usahanya baru sebagai pemasukan sampingan (passive income), belum menjadi core utama pendapatan ekonomis.

Beberapa pondok pesantren dapat diajukan di sini sebagai contoh kongkrit pondok pesantren yang telah menjadikan entrepreneurship sebagai usaha nyata, yaitu pondok pesantren al-Ittifaq Bandung yang menerjuni dunia agribisnis sebagai basis utama usahanya. Juga Pondok Pesantren Sidogiri yang memiliki multi produk dalam skala massif yang diperdagangkan dalam partai besar.

Setidaknya, dengan mulai berkembangnya Pondok Pesantren sebagai basis entrepreneurship yang berwajah spiritual mengulik memori kita akan adanya gerakan Nahdlatut Tujjar pada era tahun 1918 di Jawa Timur yang mematri semangat para Ulama’ dan Kyai untuk membangkitkan kekuatan ekonomi umat.

Saya sedang menyusun buku tentang Entrepreneurship Santri. Mudah-mudahan cepat selesai ya.....

Penulis:
Hamim Enha S.EI.
(Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni - Direktur Pesantren Motivasi Indonesia)