Senin, 16 Juni 2014

Mendialogkan Perbedaan, Merajut Perdamaian, Membangun Kualitas Generasi Muda Berkarakter Kebangsaan


Kebangsaan merupakan konsensus bersama anak bangsa yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yang menjamin adanya keberagaman suku, budaya, etnik, dan kearifan warga negaranya, sehingga Indonesia memiliki jati diri yang utuh dalam membangun peradaban dan kebudayaan agungnya.

Kendati demikian, mewujudkan relasi kebangsaaan antar identitas yang ada menghadapi tantangan tersendiri. Hal ini karena hubungan antar identitas dalam kebangsaan kerap kali menemui kendala. Keberagaman antar agama tak jarang diwarnai oleh konflik. Demikian juga halnya, penerimaan antar etnik dan suku tertentu tak sepenuhnya didasarkan kepada kesadaran kebangsaaan dalam bingkai Bhineeka Tuggal Ika dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam beberapa fragmen, masih saja dijumpai kecenderungan komunitas masyarakat yang merasa  sebagai bagian kesatuan bangsa dan negara, melainkan sebagai bagian identitas tertentu. Benturan antar identitas inilah yang kerap kali menuai konflik horizontal.

Pergumulan antar identitas tersebut dalam perspektif kajian culture studies (studi kebudayaan) memantik sikap saling melakukan representasi dan relasi saling negosiasi antara identitas. Dari sinilah muncul klaim dominan atau mayoritas. Pada ranah ini, biasanya posisi mayoritas dan kuasa yang kuat memiliki andil dalam meneguhkan diri dalam dominasi identitas ini.

Pada tahap ini sangat rentan terjadi pergesekan antar identitas dan jika tidak diwaspadai bisa terjadi kekerasan dan konflik, baik  secara vertikal maupun horisontal. Karena itu upaya mendialogkan antar identitas, baik identitas keagamaan, nasionalisme, maupun identitas tradisi perlu terus menerus dilakukan demi merajut perdamaian.

Harap diakui, memang terminologi kebangsaan sendiri abstrak. Cukup sulit merumuskan apa yang disebut sebagai bangsa. Jika Keindonesiaan dirumuskan sebagai buah dari kemerdekaan atas cengkeraman kolonial, toh tak semua wilayah di Indonesia pernah dijajah kolonial Belanda. Perwujudan negara  Indonesia lebih sebagai konsensus antar putera-puteri daerah  dari beragam etnik, agama, dan suku yang dimulai ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.

Kalaupun jika ditarik lebih jauh kepada komitmen Sumpah Palapa yang dianggap menyatukan nusantara, pun terlihat sumir karena batasan-batasan nusantara tak terdefinisikan secara pesifik.

Menurut Ben Anderson, “Bangsa” atau “Nation” merupakan Imagined Community atau komunitas yang dibayangkan. Sebuah bangsa diudentifikasi sebagai persatuan komunal yang dilandasai kesamaan cita-cita dan harapan tentang pembangunan peradaban. Tentu saja, bangsa diisi oleh beragam identitas, baik suku, etnis, dan agama. Kesemuanya melebur menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan kepentingan bersama dalam sebuah negara yang menjamin rasa aman dan kesejahteraan sebagai warga negara. Meleburnya pelbagai identitas menjadi sebuah bangsa hadir bersamaan dengan hadirnya ide negara bangsa pasca era kolonial. Negara-negara yang mengalami penjajahan menyatukan visi menjadi negara bangsa independen dan melepaskan diri dari pengaruh penjajahnya.

Komitmen menjadi sebuah negara-bangsa merupakan buah dari saling mau menerima antar identitas yang yang dipimpin oleh “hikmat” dan “kebijaksanaan” dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Karenanya, Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah datang begitu saja, melainkan pergumulan panjang yang melibatkan identitas-identitas dan agama-agama yang ada di Indonesia.

Semangat Kebangsaan Melampaui Keagamaan
Jika ditelaah lebih lanjut, otentitas kebangsaan secara konsep praktis aplikatif relatif sulit ditemukan dalam perspektif keagamaan. Masing-masing agama memiliki formula sendiri tentang penyelenggaraan hidup berbangsa. Namun, setiap agama juga memaktubkan bahwa tendensi kenegaraan dalam agama menjadi satu-kesatuan atau nation and religion. Bahkan kerap kali keagamaan menjadi landasan dalam penyelenggaraan kenegaraan, walaupun tak tersirat dalam konstitusi.

Problem yang muncul kemudian adalah individu merasa menjadi bagian dari agama, dari pada bagian dari bangsa. Sentimen-sentimen inilah yang kerap kali mengoyak ikatan-ikatan kebangsaan, yang jika tidak diantisipasi dapat memantik ekstrimisme yang mengganggu kesatuan republik Indonesia.
Karenanya, komitmen Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus dipertahankan. Usaha-usaha merongrong kedaulatan NKRI baik karena sentimen kesukuan maupun keagamaan harus dicegah.

Selanjutnya, setiap Individu di republik ini, terutama dari generasi muda perlu mendapatkan asupan pemahaman kebangsaan yang memadahi. Kendati   memiliki semangat keagamaan yang kuat, tetapi rasa keagamaan itu justru dapat menjadi landasan untuk menopang rasa nasionalisme. Tak perlu ada dualisme antara sebagai warga bangsa atau pengikut agama. Bukan perkara yang tak mungkin jika di satu sisi, seorang individu warga menjadi bagian negara yang memiliki rasa nasionalisme yang kuat, di waktu yang sama ia menjadi pemeluk agama yang taat.

Pergulatan kebangsaan tidak hanya berkelindan dengan agama. Dalam beberapa hal faktor tradisi dan kebudayaan turut mengisi ruang diskursus kebangsaan. Karena, identitas masyarakat Indonesia ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh agama dan teritori asal daerah, tetapi juga tradisi dan budaya yang berlaku di komunitas adat daerah tersebut. Pada satu waktu, bisa saja orang Indonesia lebih merasa dari bagian tradisi tertentu dengan agama tertentu dari pada sebagai warga Indonesia.

Namun, perlu disadari, semestinya ketiga identitas tersebut melebur menjadi satu ikatan yang didasarkan pada rasa kebersamaan dalam kemerdekaan, yaitu bangsa Indonesia. Karena jika terjadi benturan antara ketiga identitas itu bakal menyebabkan guncangan yang tak terperikan. Karena itu, ketiga identitas itu harus saling mendukung dan mewujud pada satu kesatuan keindonesiaan. Agama dan tradisi semestinya menjadi “ruh” yang memberi jiwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Agama menjadi character of nation, dan Tradisi menjadi soul of nation. Dengan demikian, agama dan tradisi dapat mewarnai identitas masyarakat dalam bingkai negara bangsa.

Pancasila Sebagai Karakter Bangsa
Globalisasi, diakui atau tidak, hadir dengan dua wajah. Pada satu sisi, globalisasi menyuguhkan kemudahan dalam berkomunikasi dan bertransaksi. Juga menjanjikan kehidupan yang lebih nyaman dan layak. Namun, pada sisi yang lain, globalisasi dapat membawa pengaruh bagi tata nilai dan jati diri bangsa. Kemajuan teknologi yang datang pada era globalisasi, jika tidak diantisipasi, dapat memberikan dampatk destruktif bagi kelangsungan karakter bangsa.

Pembangunan nasional semestinya tidak melulu berorientasi pada pembangunan fisik dan infrastruktur semata. Pembangunan memang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang baik, tingkat kemiskinan yang kian turun, kualitas pendidikan yang memadai, dan ketahanan-keamanan bangsa yang terjaga. Namun, pembangunan harus juga mengarah pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa, di mana nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa terus dipegangteguhi sebagai tata nilai peradaban yang agung. Pembangunan nasional berorientasi pada pembangunan bangsa (nation building) dan pembangunan karakter bangsa (character building).

Karakter merupakan sumber daya penggerak bangsa. Karakter bangsa adalah kualitas mental bangsa yang menonjol dan berpola, yang dengan karakter itulah bangsa Indonesia memiliki nilai lebih dan deferensiasi dari bangsa dan negara lainnya. Pancasila (di)hadir(kan) sebagai manifestasi karakter bangsa yang terhimpun dalam lima silanya yang menunjukkan karakter religius bangsa Indonesia (Sila 1), rasa kemanusiaan yang tinggi (Sila 2), semangat persatuan yang kuat (Sila 3), Kehendak untuk bermusyawarah dalam kehidupan yang demokratis (Sila 4),  dan cita-cita perikehidupan yang sejahtera dengan keadilan dan hukum ditegakkan (Sila 5).

Nilai-nilai luhur yang ada pada Pancasila merupakan nilai dasar yang perwujudannya menjadi karakter bangsa Indonesia. Nilai luhur yang terkandung pada Pancasila ini masuk ke segenap sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, sila pertama sampai sila kelima terbawa dalam cara hidup, pola hidup, gerak hidup seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya, kita kini menghadapi tantangan merebaknya nilai hedonisme dan individualisme sebagai ekses fenomena globalisasi. Demikian juga, perlahan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia mulai terkoyak. Gemuruh reformasi menyulut gejala primordialisme, tuntutan nilai-nilai tanpa batas, dan ancaman separatisme.

Dapat dengan mudah kita jumpai  lunturnya budaya tenggang rasa yang ditandai oleh merebaknya kekerasan, konflik horisontal atas sentimen kesukuan atau keagamaan, dan pudarnya nila sopan-santun. Pada fragmen lain, kohesi sosial kian longgar, kesetiakawanan tinggal slogan, dan muncul sikap tidak peduli terhadap lingkungan sosial.

Kita tersentak. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius dan beradab tiba-tiba seolah menjadi bangsa yang beringas dan mudah mengambil jalan pintas. Kita terhenyak, nilai-nilai keberadaban yang menjadi karakter bangsa luput dari kesadaran kita. Kita membutuhkan kembali karakter bangsa sebagai ikatan solidaritas hidup berbangsa dan bernegara.

Tak pelak, pembangunan nasional ditujukan agar bangsa memiliki kemajuan yang hakiki supaya memiliki daya saing dengan bangsa lainnya. Sedangkan pembangunan karakter menjadikan nilai lebih pada kemampuan bangsa untuk berdaya saing yang mengarah pada kemajuan bangsa secara kolektif.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informasi, Ir. Tifatul Sembiring, pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multi dimensional dan multi aspek. Multi dimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan. Dan bersifat multi aspek karena mencakup potensi-potensi keunggulan bangsa. Oleh sebab itu, pembangunan karakter bangsa setidaknya diarahkan kepada 4 (empat) tataran besar, yaitu untuk menjaga jati diri bangsa, untuk menjaga NKRI, untuk membentuk masyarakat yang berakhlak mulia dan untuk membentuk bangsa yang maju, mandiri dan bermartabat.

Dengan pembangunan nasional yang diselaraskan dengan pembangunan karakter bangsa, maka kita optimis bangsa Indonesia mampu bangkit menjadi bangsa yang kuat dan berkualitas.

Hal ini selaras dengan tujuan-tujuan pembangunan kependudukan dimana penduduk sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan. Pembangunan nasional semestinya memperhatikan pertumbuhan penduduk, mengingat kualitas penduduk sangat dipengaruhi sejauh apa pemerintah mampu mengendalikan kuantitas penduduk. Penduduk yang besar yang berkualitas bisa menjadi modal pembangunan. Namun, penduduk yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban pembangunan.
Tujuan penyelenggaraan negara adalah pembangunan dimensi kependudukan untuk mencapai taraf kehidupan rakyat lebih sejahtera. Jika tujuan-tujuan pembangunan kependudukan tercapai, maka Indonesia dapat mencapai window of opportunity  pada tahun 2020-2030, yaitu sebuah bonus demografi dimana tingkat kelahiran turun dan jumlah kematian turun. Pada masa itu diperkirakan Indonesia memasuki era dimana tingkat ketergantungan sangat rendah, karena penduduk relatif masih muda dan belum diikuti melonjaknya jumlah orang tua. Pada saat ada tingkat ketergantungan paling rendah itu akan mempunyai daya ungkit ekonomi paling tinggi. Jika Indonesia dapat melampaui window of opportunity ini, akan terjadi keseimbangan penduduk di tahun 2050 yang diperkirakan mencapai 298 juta jiwa, namun terjadi keseimbangan antara jumlah yang lahir dan jumlah yang meninggal, yang disebut penduduk tanpa pertumbuhan (zero population growth). Tumbuhnya kesejahteraan penduduk, terwujudnya keluarga yang bahagia, dan perkembangan kualitas manusia Indonesia yang baik adalah tujuan pembangunan itu sendiri.

Pada beberapa periode belakangan, Indonesia menempati posisi negara  ke-4 yang berpenduduk paling besar, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 juga memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang kian tinggi. 237,6 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia sekarang ini. Dibutuhkan keseriusan dalam menangani hal ini. Karena pertumbuhan penduduk dapat mempengaruhi target-target pembangunan, terutama pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Pembangunan Karakter Bangsa Dimulai dari Keluarga
Penguatan karakter bangsa digerakkan mulai dari hulu hingga hilir. Lingkup cakupannya mulai dari lingkup keluarga, lingkup pendidikan, lingkup masyarakat, dan lingkup pemerintah. Pada lingkup keluarga pembinan karakter dibiasakan semenjak balita hingga perhatian kepada lansia. Karena itu, ketika membincang pembangunan dan pembinaan karakter keluarga, maka isu yang berkembang adalah persoalan tingkat kesehatan keluarga, pengurangan angka kematian Ibu dan anak, kesehatan maternal, pemahaman kesetaraan gender, tingkat pendidikan keluarga, kesejahteraan dan ketahanan keluarga, hingga pembangunan kualitas manusia melalui penguatan keluarga.

Pada lingkup pendidikan adalah wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang dilakukan secara terintegrasi oleh para guru. Pada lingkup masyarakat, wahana pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan para tokoh masyarakat, dan pada lingkup pemerintahan wahana pembangunan karakter bangsa keteladanan aparat penyelenggara negara dan tokoh-tokoh elit bangsa

Pembangunan karakter bangsa penting untuk dimulai dan ditanamkan di keluarga. Keluarga adalah skrup terkecil dari bangunan bangsa Indonesia. Hal ini mengingat keluarga adalah komponen paling depan yang menghadapi berbagai persoalan. Runtuhnya kohesi sosial di tengah masyarakat biasanya dimulai dari goyahnya ketangguhan keluarga. Semakin keluarga meninggalkan nilai-nilai luhur, semakin cepat bangsa mengalami pemudaran karakter bangsa. Keluarga adalah tonggak bangsa. Jika keluarga hancur, bangsa pun turut runtuh.

Di sinilah dibutuhkan etos ketangguhan keluarga untuk terus mengembangkan karakter luhur dan jati diri bangsa dengan melakukan pembinaan secara berkelanjutan kepada anggota keluarganya. Dengan demikian, negara semestinya juga memiliki perhatian pada pembangunan keluarga Indonesia.

Menggerakkan Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Generasi muda adalah tumpuan masa depan bangsa. Generasi muda adalah kelompok yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan nasional dan meneruskan perjuangan generasi sebelumnya. Karena itu, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda. Bahkan, menentukan nasib bangsa di masa depan.

Generasi muda seringkali diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul. Namun, justru kerap kita lihat bahwa generasi muda merupakan pihak yang paling mudah terpengaruh gaya hidup hedonisme, pergaulan bebas, kebebasan tanpa batas, bahkan mencari jalan pintas, sebagai dampak destruktif globalisasi. Jika hal ini terus berlanjut tanpa upaya segera untuk mengantisipasinya sesungguhnya kita sedang menghadapi fenomena lost quality generation, lenyapnya generasi bangsa yang berkualitas.

Karena  itu, penting adanya untuk menggerakkan generasi muda untuk memperkuat jati diri dengan karakter luhur bangsa. Bahkan, mereka sendiri lah yang berperan menggerakkan pembangunan karakter bangsa itu. Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang dapat diperankan oleh generasi muda, yaitu: Pertama, pembangun karakter (character builder), dimana generasi muda dapat didorong untuk membangun kembali karakter bangsa dari erosi jati diri. Kedua, pemberdaya karakter (character  enabler), yaitu generasi muda harus tampil sebagai contoh (model) dalam pembangunan karakter. Ketiga, Perekayasa karakter (character engineer) dimana generasi muda dituntut untuk mampu mengembangkan karakter dan jati diri positif bangsa dengan memperhatikan konteks dan kondisi. Maka dibutuhkan daya inovasi dan kreativitas untuk mempertahankan karakter bangsa tanpa mereduksi kemajuan.

Kini, saatnya kita menuju pada era GERAK, GEnerasi berkaRAKter. Era generasi muda yang memahami jati diri bangsa dan menjadikan karakter bangsa sebagai tata nilai yang memberikan nilai unggul pembangunan bangsa. Generasi muda yang berorientasi pada prestasi untuk menjadi para juara. Kita optimis, dengan GERAK, Generasi Berkarakter, bangsa Indonesia memiliki generasi muda yang berkualitas, berprestasi, dan berkarakter.[]

Penulis:
Hamim Enha SEI
Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni
Direktur Pesantren Motivasi Indonesia - Istana Yatim Nurul Mukhlisin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar