Kendati
demikian, mewujudkan relasi kebangsaaan antar identitas yang ada menghadapi
tantangan tersendiri. Hal ini karena hubungan antar identitas dalam kebangsaan
kerap kali menemui kendala. Keberagaman antar agama tak jarang diwarnai oleh
konflik. Demikian juga halnya, penerimaan antar etnik dan suku tertentu tak
sepenuhnya didasarkan kepada kesadaran kebangsaaan dalam bingkai Bhineeka
Tuggal Ika dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam
beberapa fragmen, masih saja dijumpai kecenderungan komunitas masyarakat yang
merasa sebagai bagian kesatuan bangsa
dan negara, melainkan sebagai bagian identitas tertentu. Benturan antar
identitas inilah yang kerap kali menuai konflik horizontal.
Pergumulan
antar identitas tersebut dalam perspektif kajian culture studies (studi
kebudayaan) memantik sikap saling melakukan representasi dan relasi saling
negosiasi antara identitas. Dari sinilah muncul klaim dominan atau mayoritas.
Pada ranah ini, biasanya posisi mayoritas dan kuasa yang kuat memiliki andil
dalam meneguhkan diri dalam dominasi identitas ini.
Pada
tahap ini sangat rentan terjadi pergesekan antar identitas dan jika tidak
diwaspadai bisa terjadi kekerasan dan konflik, baik secara vertikal maupun horisontal. Karena itu
upaya mendialogkan antar identitas, baik identitas keagamaan, nasionalisme,
maupun identitas tradisi perlu terus menerus dilakukan demi merajut perdamaian.
Harap
diakui, memang terminologi kebangsaan sendiri abstrak. Cukup sulit merumuskan
apa yang disebut sebagai bangsa. Jika Keindonesiaan dirumuskan sebagai buah
dari kemerdekaan atas cengkeraman kolonial, toh tak semua wilayah di Indonesia
pernah dijajah kolonial Belanda. Perwujudan negara Indonesia lebih sebagai konsensus antar
putera-puteri daerah dari beragam etnik,
agama, dan suku yang dimulai ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28
Oktober 1928.
Kalaupun
jika ditarik lebih jauh kepada komitmen Sumpah Palapa yang dianggap menyatukan
nusantara, pun terlihat sumir karena batasan-batasan nusantara tak
terdefinisikan secara pesifik.
Menurut
Ben Anderson, “Bangsa” atau “Nation” merupakan Imagined Community atau
komunitas yang dibayangkan. Sebuah bangsa diudentifikasi sebagai persatuan
komunal yang dilandasai kesamaan cita-cita dan harapan tentang pembangunan
peradaban. Tentu saja, bangsa diisi oleh beragam identitas, baik suku, etnis,
dan agama. Kesemuanya melebur menjadi satu kesatuan untuk mewujudkan
kepentingan bersama dalam sebuah negara yang menjamin rasa aman dan
kesejahteraan sebagai warga negara. Meleburnya pelbagai identitas menjadi
sebuah bangsa hadir bersamaan dengan hadirnya ide negara bangsa pasca era
kolonial. Negara-negara yang mengalami penjajahan menyatukan visi menjadi
negara bangsa independen dan melepaskan diri dari pengaruh penjajahnya.
Komitmen
menjadi sebuah negara-bangsa merupakan buah dari saling mau menerima antar identitas
yang yang dipimpin oleh “hikmat” dan “kebijaksanaan” dalam bingkai Bhinneka
Tunggal Ika. Karenanya, Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bukanlah datang begitu saja, melainkan pergumulan panjang yang
melibatkan identitas-identitas dan agama-agama yang ada di Indonesia.
Semangat
Kebangsaan Melampaui Keagamaan
Jika
ditelaah lebih lanjut, otentitas kebangsaan secara konsep praktis aplikatif
relatif sulit ditemukan dalam perspektif keagamaan. Masing-masing agama
memiliki formula sendiri tentang penyelenggaraan hidup berbangsa. Namun, setiap
agama juga memaktubkan bahwa tendensi kenegaraan dalam agama menjadi
satu-kesatuan atau nation and religion. Bahkan kerap kali keagamaan
menjadi landasan dalam penyelenggaraan kenegaraan, walaupun tak tersirat dalam
konstitusi.
Problem
yang muncul kemudian adalah individu merasa menjadi bagian dari agama, dari
pada bagian dari bangsa. Sentimen-sentimen inilah yang kerap kali mengoyak
ikatan-ikatan kebangsaan, yang jika tidak diantisipasi dapat memantik
ekstrimisme yang mengganggu kesatuan republik Indonesia.
Karenanya,
komitmen Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus
dipertahankan. Usaha-usaha merongrong kedaulatan NKRI baik karena sentimen
kesukuan maupun keagamaan harus dicegah.
Selanjutnya,
setiap Individu di republik ini, terutama dari generasi muda perlu mendapatkan
asupan pemahaman kebangsaan yang memadahi. Kendati memiliki semangat keagamaan yang kuat,
tetapi rasa keagamaan itu justru dapat menjadi landasan untuk menopang rasa
nasionalisme. Tak perlu ada dualisme antara sebagai warga bangsa atau pengikut
agama. Bukan perkara yang tak mungkin jika di satu sisi, seorang individu warga
menjadi bagian negara yang memiliki rasa nasionalisme yang kuat, di waktu yang
sama ia menjadi pemeluk agama yang taat.
Pergulatan
kebangsaan tidak hanya berkelindan dengan agama. Dalam beberapa hal faktor
tradisi dan kebudayaan turut mengisi ruang diskursus kebangsaan. Karena,
identitas masyarakat Indonesia ternyata tidak hanya dipengaruhi oleh agama dan
teritori asal daerah, tetapi juga tradisi dan budaya yang berlaku di komunitas
adat daerah tersebut. Pada satu waktu, bisa saja orang Indonesia lebih merasa
dari bagian tradisi tertentu dengan agama tertentu dari pada sebagai warga
Indonesia.
Namun,
perlu disadari, semestinya ketiga identitas tersebut melebur menjadi satu
ikatan yang didasarkan pada rasa kebersamaan dalam kemerdekaan, yaitu bangsa
Indonesia. Karena jika terjadi benturan antara ketiga identitas itu bakal
menyebabkan guncangan yang tak terperikan. Karena itu, ketiga identitas itu
harus saling mendukung dan mewujud pada satu kesatuan keindonesiaan. Agama dan
tradisi semestinya menjadi “ruh” yang memberi jiwa dalam penyelenggaraan
kehidupan berbangsa. Agama menjadi character of nation, dan Tradisi
menjadi soul of nation. Dengan demikian, agama dan tradisi dapat
mewarnai identitas masyarakat dalam bingkai negara bangsa.
Pancasila
Sebagai Karakter Bangsa
Globalisasi,
diakui atau tidak, hadir dengan dua wajah. Pada satu sisi, globalisasi
menyuguhkan kemudahan dalam berkomunikasi dan bertransaksi. Juga menjanjikan
kehidupan yang lebih nyaman dan layak. Namun, pada sisi yang lain, globalisasi
dapat membawa pengaruh bagi tata nilai dan jati diri bangsa. Kemajuan teknologi
yang datang pada era globalisasi, jika tidak diantisipasi, dapat memberikan
dampatk destruktif bagi kelangsungan karakter bangsa.
Pembangunan
nasional semestinya tidak melulu berorientasi pada pembangunan fisik dan
infrastruktur semata. Pembangunan memang bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat yang ditandai oleh pertumbuhan
ekonomi yang baik, tingkat kemiskinan yang kian turun, kualitas pendidikan yang
memadai, dan ketahanan-keamanan bangsa yang terjaga. Namun, pembangunan harus
juga mengarah pada pembangunan karakter dan jati diri bangsa, di mana
nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa terus dipegangteguhi sebagai tata
nilai peradaban yang agung. Pembangunan nasional berorientasi pada pembangunan
bangsa (nation building) dan pembangunan karakter bangsa (character
building).
Karakter
merupakan sumber daya penggerak bangsa. Karakter bangsa adalah kualitas mental
bangsa yang menonjol dan berpola, yang dengan karakter itulah bangsa Indonesia
memiliki nilai lebih dan deferensiasi dari bangsa dan negara lainnya. Pancasila
(di)hadir(kan) sebagai manifestasi karakter bangsa yang terhimpun dalam lima
silanya yang menunjukkan karakter religius bangsa Indonesia (Sila 1), rasa
kemanusiaan yang tinggi (Sila 2), semangat persatuan yang kuat (Sila 3),
Kehendak untuk bermusyawarah dalam kehidupan yang demokratis (Sila 4), dan cita-cita perikehidupan yang sejahtera
dengan keadilan dan hukum ditegakkan (Sila 5).
Nilai-nilai
luhur yang ada pada Pancasila merupakan nilai dasar yang perwujudannya menjadi
karakter bangsa Indonesia. Nilai luhur yang terkandung pada Pancasila ini masuk
ke segenap sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia, sila pertama sampai sila
kelima terbawa dalam cara hidup, pola hidup, gerak hidup seluruh rakyat
Indonesia.
Sayangnya,
kita kini menghadapi tantangan merebaknya nilai hedonisme dan individualisme
sebagai ekses fenomena globalisasi. Demikian juga, perlahan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia mulai terkoyak. Gemuruh reformasi menyulut gejala
primordialisme, tuntutan nilai-nilai tanpa batas, dan ancaman separatisme.
Dapat
dengan mudah kita jumpai lunturnya
budaya tenggang rasa yang ditandai oleh merebaknya kekerasan, konflik
horisontal atas sentimen kesukuan atau keagamaan, dan pudarnya nila
sopan-santun. Pada fragmen lain, kohesi sosial kian longgar, kesetiakawanan
tinggal slogan, dan muncul sikap tidak peduli terhadap lingkungan sosial.
Kita
tersentak. Bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius dan
beradab tiba-tiba seolah menjadi bangsa yang beringas dan mudah mengambil jalan
pintas. Kita terhenyak, nilai-nilai keberadaban yang menjadi karakter bangsa
luput dari kesadaran kita. Kita membutuhkan kembali karakter bangsa sebagai
ikatan solidaritas hidup berbangsa dan bernegara.
Tak
pelak, pembangunan nasional ditujukan agar bangsa memiliki kemajuan yang hakiki
supaya memiliki daya saing dengan bangsa lainnya. Sedangkan pembangunan
karakter menjadikan nilai lebih pada kemampuan bangsa untuk berdaya saing yang
mengarah pada kemajuan bangsa secara kolektif.
Menurut
Menteri Komunikasi dan Informasi, Ir. Tifatul Sembiring, pembangunan karakter
bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multi dimensional dan
multi aspek. Multi dimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan. Dan
bersifat multi aspek karena mencakup potensi-potensi keunggulan bangsa. Oleh
sebab itu, pembangunan karakter bangsa setidaknya diarahkan kepada 4 (empat)
tataran besar, yaitu untuk menjaga jati diri bangsa, untuk menjaga NKRI, untuk
membentuk masyarakat yang berakhlak mulia dan untuk membentuk bangsa yang maju,
mandiri dan bermartabat.
Dengan
pembangunan nasional yang diselaraskan dengan pembangunan karakter bangsa, maka
kita optimis bangsa Indonesia mampu bangkit menjadi bangsa yang kuat dan
berkualitas.
Hal
ini selaras dengan tujuan-tujuan pembangunan kependudukan dimana penduduk
sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan. Pembangunan nasional semestinya
memperhatikan pertumbuhan penduduk, mengingat kualitas penduduk sangat
dipengaruhi sejauh apa pemerintah mampu mengendalikan kuantitas penduduk.
Penduduk yang besar yang berkualitas bisa menjadi modal pembangunan. Namun, penduduk
yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban pembangunan.
Tujuan
penyelenggaraan negara adalah pembangunan dimensi kependudukan untuk mencapai
taraf kehidupan rakyat lebih sejahtera. Jika tujuan-tujuan pembangunan
kependudukan tercapai, maka Indonesia dapat mencapai window of opportunity pada tahun 2020-2030, yaitu sebuah bonus
demografi dimana tingkat kelahiran turun dan jumlah kematian turun. Pada masa
itu diperkirakan Indonesia memasuki era dimana tingkat ketergantungan sangat
rendah, karena penduduk relatif masih muda dan belum diikuti melonjaknya jumlah
orang tua. Pada saat ada tingkat ketergantungan paling rendah itu akan
mempunyai daya ungkit ekonomi paling tinggi. Jika Indonesia dapat melampaui window
of opportunity ini, akan terjadi keseimbangan penduduk di tahun 2050 yang
diperkirakan mencapai 298 juta jiwa, namun terjadi keseimbangan antara jumlah
yang lahir dan jumlah yang meninggal, yang disebut penduduk tanpa pertumbuhan (zero
population growth). Tumbuhnya kesejahteraan penduduk, terwujudnya keluarga
yang bahagia, dan perkembangan kualitas manusia Indonesia yang baik adalah
tujuan pembangunan itu sendiri.
Pada
beberapa periode belakangan, Indonesia menempati posisi negara ke-4 yang berpenduduk paling besar, setelah
Cina, India, dan Amerika Serikat. Hasil sensus penduduk tahun 2010 juga
memperlihatkan pertumbuhan penduduk yang kian tinggi. 237,6 juta jiwa jumlah
penduduk Indonesia sekarang ini. Dibutuhkan keseriusan dalam menangani hal ini.
Karena pertumbuhan penduduk dapat mempengaruhi target-target pembangunan,
terutama pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan
Karakter Bangsa Dimulai dari Keluarga
Penguatan
karakter bangsa digerakkan mulai dari hulu hingga hilir. Lingkup cakupannya
mulai dari lingkup keluarga, lingkup pendidikan, lingkup masyarakat, dan
lingkup pemerintah. Pada lingkup keluarga pembinan karakter dibiasakan semenjak
balita hingga perhatian kepada lansia. Karena itu, ketika membincang
pembangunan dan pembinaan karakter keluarga, maka isu yang berkembang adalah
persoalan tingkat kesehatan keluarga, pengurangan angka kematian Ibu dan anak,
kesehatan maternal, pemahaman kesetaraan gender, tingkat pendidikan keluarga,
kesejahteraan dan ketahanan keluarga, hingga pembangunan kualitas manusia
melalui penguatan keluarga.
Pada
lingkup pendidikan adalah wahana pendidikan dan pengembangan karakter yang
dilakukan secara terintegrasi oleh para guru. Pada lingkup masyarakat, wahana
pembinaan dan pengembangan karakter melalui keteladanan para tokoh masyarakat,
dan pada lingkup pemerintahan wahana pembangunan karakter bangsa keteladanan
aparat penyelenggara negara dan tokoh-tokoh elit bangsa
Pembangunan
karakter bangsa penting untuk dimulai dan ditanamkan di keluarga. Keluarga
adalah skrup terkecil dari bangunan bangsa Indonesia. Hal ini mengingat
keluarga adalah komponen paling depan yang menghadapi berbagai persoalan.
Runtuhnya kohesi sosial di tengah masyarakat biasanya dimulai dari goyahnya
ketangguhan keluarga. Semakin keluarga meninggalkan nilai-nilai luhur, semakin
cepat bangsa mengalami pemudaran karakter bangsa. Keluarga adalah tonggak
bangsa. Jika keluarga hancur, bangsa pun turut runtuh.
Di
sinilah dibutuhkan etos ketangguhan keluarga untuk terus mengembangkan karakter
luhur dan jati diri bangsa dengan melakukan pembinaan secara berkelanjutan
kepada anggota keluarganya. Dengan demikian, negara semestinya juga memiliki
perhatian pada pembangunan keluarga Indonesia.
Menggerakkan
Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Generasi
muda adalah tumpuan masa depan bangsa. Generasi muda adalah kelompok yang akan
melanjutkan estafet kepemimpinan nasional dan meneruskan perjuangan generasi
sebelumnya. Karena itu, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat
penting bagi generasi muda. Bahkan, menentukan nasib bangsa di masa depan.
Generasi
muda seringkali diidentifikasi sebagai kelompok yang memiliki mental
kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif
dan bekerja keras, untuk mengangkat derajat bangsa menjadi bangsa yang unggul.
Namun, justru kerap kita lihat bahwa generasi muda merupakan pihak yang paling
mudah terpengaruh gaya hidup hedonisme, pergaulan bebas, kebebasan tanpa batas,
bahkan mencari jalan pintas, sebagai dampak destruktif globalisasi. Jika hal
ini terus berlanjut tanpa upaya segera untuk mengantisipasinya sesungguhnya
kita sedang menghadapi fenomena lost quality generation, lenyapnya
generasi bangsa yang berkualitas.
Karena itu, penting adanya untuk menggerakkan
generasi muda untuk memperkuat jati diri dengan karakter luhur bangsa. Bahkan,
mereka sendiri lah yang berperan menggerakkan pembangunan karakter bangsa itu.
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang dapat diperankan oleh generasi muda, yaitu:
Pertama, pembangun karakter (character builder), dimana generasi muda
dapat didorong untuk membangun kembali karakter bangsa dari erosi jati diri.
Kedua, pemberdaya karakter (character
enabler), yaitu generasi muda harus tampil sebagai contoh (model)
dalam pembangunan karakter. Ketiga, Perekayasa karakter (character engineer)
dimana generasi muda dituntut untuk mampu mengembangkan karakter dan jati diri
positif bangsa dengan memperhatikan konteks dan kondisi. Maka dibutuhkan daya
inovasi dan kreativitas untuk mempertahankan karakter bangsa tanpa mereduksi
kemajuan.
Kini,
saatnya kita menuju pada era GERAK, GEnerasi berkaRAKter. Era generasi muda
yang memahami jati diri bangsa dan menjadikan karakter bangsa sebagai tata
nilai yang memberikan nilai unggul pembangunan bangsa. Generasi muda yang
berorientasi pada prestasi untuk menjadi para juara. Kita optimis, dengan
GERAK, Generasi Berkarakter, bangsa Indonesia memiliki generasi muda yang berkualitas,
berprestasi, dan berkarakter.[]
Penulis:
Hamim Enha SEI
Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar