Data dan statement resmi negara menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi makro Indonesia menunjukkan prestasi yang signifikan. Namun sayangnya, tak
ditopang dengan realitas ekonomi mikro yang semestinya juga baik. Ekonomi makro
terus berkembang, sedangkan ekonomi mikro dan sektor real berjalan di tempat.
Beberapa bahkan ambruk karena harga BBM dan listrik naik. Akibatnya, realitas
bangsa ini terbelah dua: ekonomi papan atas memunculkan kelompok elit yang
semakin kaya. Sedangkan di sisi lain, bagai piramida segitiga, kelompok yang
berada di tengah dan bawah kian terpuruk. Piramida atas membangun ekonomi makro
yang terus tumbuh dengan disusul PHK besar-besaran beberapa pabrik
multinasional, akses pekerjaan yang kian langkah dan jumlah pengangguran
bertambah. Walhasil, angka kemiskinan kian membengkak.
Meski demikian, bukan sepenuhnya
negara (baca: Pemerintah) sepenuhnya disalahkan atas realitas semacam ini.
Karena negara bukanlah pabrik yang maha besar yang bisa menampung setiap
pencari kerja. Negara adalah administrator dan fasilitator supaya hidup
berbangsa dan bernegara ini kian baik. Pemerintah setidaknya telah berusaha
mencari ”siasat” agar masyarakat bawah tidak terus-terusan terpuruk pada lubang
kemiskinan yang akut. Program BLT (bantuan langsung tunai), PMKM Mandiri, dan
KUR adalah salah satu upaya pemerintah agar masyarakat dapat memenuhi
penghidupannya.
Sebetulnya, mental dan budaya yang
melekat di kehidupan masyarakat Indonesia turut andil dalam problem kesejahteraan.
Terlampau banyak dari anggota masyarakat yang lebih memilih menunggu ada
lowongan pekerjaan ketimbang menggerakkan tangan untuk berusaha membangun
kesejahteraan dirinya. Mental pekerja (worker) di negeri ini lebih
dominan dari pada kesadaran wirausaha (entrepreneurship).
Di tengah kondisi ekonomi dan
sosial bangsa yang belum pulih dari beban berat krisis multidimensi ini, sudah
selayaknya banyak orang yang mengubah persepsinya dari “menunggu kerja” menjadi
“menjadi pengusaha”, “menunggu nasib”
menjadi “merubah nasib”. Tentu saja, “nasib” yang dimaksud di sini adalah nasib
kesejahteraan, untuk diri dan bangsa, sebagaimana pesan Bung Karno, “Jangan
tanya, apa yang bisa dilakukan bangsa ini untuk kamu. Tapi, tanyalah apa yang bisa kau
lakukan untuk bangsa ini.”
Sayangnya, menumbuhkan kesadaran
dan kemauan masyarakat untuk membangun usaha sendiri bukanlah pekerjaan mudah.
Minat masyarakat untuk mencari kerja (job seeking) lebih besar ketimbang
keinginan untuk berwirausaha (entrepreneurship). Mereka lebih memilih
untuk menganggur sambil menunggu lowongan pekerjaan yang tersedia. Kalaupun
mereka berhenti kerja lantara terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau sebab
lainnya, mereka akan tetap menunggu peluang kerja, alias kembali menganggur.
Padahal Indonesia sudah oversuplly
pengangguran. Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran bukan turun, malah traffic-nya
semakin naik. Itu pun setiap tahunnya harus ditambah dengan para penganggur baru
lulus sekolah yang masuk dalam arena para pencari kerja.
Di Indonesia, gerakan kewirausahaan
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995 yang didukung langsung oleh Pemerintah
melalui INPRES No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Tujuan gerakan ini sungguh positif, yaitu
menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat baik kalangan dunia
usaha, pendidikan maupun aparatur pemerintah. Sayangnya, dalam perjalanannya,
gerakan tersebut kurang mendapat dukungan. Memang ketika itu pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan kepada pembentukan wirausahawan
baru serta UKM hanya bersifat politis. Meski banyak seminar, rakor, lokakarya
diadakan, namun pada akhirnya Inpres tersebut tidak lebih sekedar retorika dan
tidak terinternalisasikan dalam program di instansi-instansi pemerintah, baik
di bidang permodalan, perizinan, pemasaran, dan teknisnya.
Karena itu, kita patut berbangga karena kini mulai banyak pihak yang mencoba membangun kesadaran entrepreneurship di kalangan masyarakat dengan mendirikan lembaga kursus usaha, membuat pelatihan wirausaha atau seminar bisnis. Tentu saja, semangatnya tidak seperti di tahun 1995. Tetapi ada semangat baru untuk menjadikan kewirausahaan sebagai alternatif pertama dari sekian macam usaha mencari penghasilan. Juga menumbuhkan kesadaran untuk membentuk pencipta lapangan kerja (job creator) daripada minat mencari kerja semata (job seeker), usaha pihak-pihak yang mencoba membangun kesadaran kewirausahaan tersebut harus kita dukung.
Apalagi jika kesadaran semacam itu
juga tumbuh di kalangan masyarakat bawah dengan membangun basis-basis ekonomi
tanpa mesti meninggalkan tradisi, budaya serta agama. Bahkan budaya dan agama seharusnya
menjadi inspirasi dan motivasi menguatnya ekonomi rakyat. Budaya dan agama tak
hanya menjadi bagian pribadi dan spiritualitas, tapi juga menjadi aspek duniawi
yang mengarahkan pemeluknya untuk meraih
aspek ilahiyyah. Keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Di sinilah diperlukan kepedulian
dan bantuan dari banyak pihak, terutama pemerintah, perbankan dan masyarakat
ekonomi atas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mikro, menengah dan kecil.
Dengan terciptanya ekonomi mikro yang kuat dengan ekonomi makro yang terus
berkembang, maka pondasi ekonomi negara kian sehat. Tak hanya kuat di permukaan, tapi
di bawah rapuh.
Pondok
Pesantren sebagai Basis Entrepreneurship
Pondok Pesantren bukan semata-mata
institusi pendidikan dan keislaman. Pondok pesantren dimiliki dan dikelola oleh
masyarakat berkembang dengan mengikuti gerak laju kebutuhan masyarakat. Maka,
saat ini pondok pesantren juga berperan sebagai institusi sosial, ekonomi dan
politik. Politik yang disebut di sini bukanlah politik praktis, melainkan
politik pemberdayaan masyarakat.
Sebagai insitusi bercorak keagamaan
yang menjadi rujukan masyarakat, sudah semestinya pondok pesantren juga
terlibat untuk menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat, turut andil
menangani problem kemiskinan, dan menawarkan jalan keluar atas problem pengangguran,
setidak-tidaknya yang berhubungan dengan kalangan pondok pesantren sendiri,
seperti santri, alumni santri dan pengurus pondok.
Seperti diketahui, kompetensi
santri adalah di bidang keislaman, khazanah kitab klasik dan hukum Islam
(Fiqih). Kompetensi ini melekat kepada santri sebagai basis pengetahuan (knowledge) sekaligus kemampuan (skill). Sehingga alumni pondok pesantren
biasanya hanya berkiprah pada bidang keagamaan itu. Sayangnya, kompetensi ini
tidak terlalu mendukung jika alumni pondok pesantren (terutama yang dari pondok
pesantren salafiyah/tradisional) mulai merambah dunia kerja untuk memenuhi
kebutuhannya pasca pendidikan di pondok pesantren. Seringkali alumni pondok
pesantren gagap jika dihadapkan pada dunia kerja riil, dan pada gilirannya
malah menjadi barisan pengangguran baru.
Pendidikan di pondok pesantren
sudah selayaknya juga dilengkapi dengan peningkatan skill pada bidang riil yang
dapat menjamin kehidupan para santrinya jika kelak terjun ke masyarakat.
Sehingga, tak semestinya alumni pondok pesantren hanya menjadi juru ceramah
yang selalu mengandalkan pendapatannya dari undangan berdakwah. Alumni pondok
pesantren harus menjadi pribadi-pribadi yang tangguh di bidang agama
(spiritual) juga berdaya di bidang usaha (ekonomi). Alumni pondok pesantren
bisa saja menjadi sosok tokoh agama yang mumpuni tetapi pengusaha yang sukses
dan mencapai free finance (bebas
secara keuangan). Dari sinilah perjuangan dakwah bisa ditopang dari pendapatan
dan zakat yang dikeluarkan (philantrophy),
bukan justru mengharpkan sumbangan dari pihak lain. Di sinilah keseimbangan
materi (duniawi) dan keberagamaan (ukhrawi) menemukan bentuk
manifestasinya.
Kalangan Santri pada pondok
pesantren perlu mendapatkan pengetahuan (knowledge)
dan kemampuan (skill)
entrepreneurship yang mengantarkan mereka menjadi pengusaha-pengusaha tangguh,
yang mengelola ekonomi umat, tetapi memiliki moralitas (attitude) yang terjaga.
Gejala mulai tumbuhnya pondok
pesantren sebagai basis entrepreneurship sebetulnya sudah mulai meruyak. Dan
ini sungguh membanggakan. Namun, sayangnya belum menjadi fenomena yang massif.
Beberapa pondok pesantren memang memiliki unit-unit usaha, tetapi belum menjadi
gerakan ekonomi yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan atau menjadi
isnpirasi lingkungannya. Pesantren-pesantren semacam ini menjadikan unit
usahanya baru sebagai pemasukan sampingan (passive
income), belum menjadi core utama
pendapatan ekonomis.
Beberapa pondok pesantren dapat
diajukan di sini sebagai contoh kongkrit pondok pesantren yang telah menjadikan
entrepreneurship sebagai usaha nyata, yaitu pondok pesantren al-Ittifaq Bandung
yang menerjuni dunia agribisnis sebagai basis utama usahanya. Juga Pondok
Pesantren Sidogiri yang memiliki multi produk dalam skala massif yang
diperdagangkan dalam partai besar.
Setidaknya, dengan mulai
berkembangnya Pondok Pesantren sebagai basis entrepreneurship yang berwajah spiritual
mengulik memori kita akan adanya gerakan Nahdlatut Tujjar pada era tahun 1918
di Jawa Timur yang mematri semangat para Ulama’ dan Kyai untuk membangkitkan
kekuatan ekonomi umat.
Saya sedang menyusun buku tentang Entrepreneurship Santri. Mudah-mudahan cepat selesai ya.....
Penulis:
Hamim Enha S.EI.
(Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni - Direktur Pesantren Motivasi Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar