Senin, 16 Juni 2014

Pondok Pesantren Sebagai Basis Kewirausahaan Muslim.


Semenjak krisis ekonomi di tahun 1997, menyusul tumbangnya rezim Orde Baru oleh gelombang Reformasi di tahun 1998, bangsa ini seolah tak kuasa bergerak cepat untuk membangkitkan kembali peekonomian nasional. Di saat negara-negara lain di Asia yang juga terimbas krisis ekonomi global mulai bangkit dan mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat diperhitungkan, yaitu Cina dan India, Indonesia terlihat sarat dengan persoalan yang menyebabkan seolah tertatih-tatih. Belum lagi keterketujan yang tib-tiba ketika perjanjian melangsungkan sistem perdagangan bebas kawan Asean dan Cina atau ACFTA (Asean-China Free Trade Agrreement) mulai banyak diperbincangkan. Kita seolah limbung karena ketidaksiapan.  Pertumbuhan ekonomi memang terjadi dan ada pergerakan ke arah yang lebih baik, tetapi pergerakan ekonomi itu agaknya belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan dan pengangguran.

Data dan statement resmi negara menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi makro Indonesia menunjukkan prestasi yang signifikan. Namun sayangnya, tak ditopang dengan realitas ekonomi mikro yang semestinya juga baik. Ekonomi makro terus berkembang, sedangkan ekonomi mikro dan sektor real berjalan di tempat. Beberapa bahkan ambruk karena harga BBM dan listrik naik. Akibatnya, realitas bangsa ini terbelah dua: ekonomi papan atas memunculkan kelompok elit yang semakin kaya. Sedangkan di sisi lain, bagai piramida segitiga, kelompok yang berada di tengah dan bawah kian terpuruk. Piramida atas membangun ekonomi makro yang terus tumbuh dengan disusul PHK besar-besaran beberapa pabrik multinasional, akses pekerjaan yang kian langkah dan jumlah pengangguran bertambah. Walhasil, angka kemiskinan kian membengkak.

Meski demikian, bukan sepenuhnya negara (baca: Pemerintah) sepenuhnya disalahkan atas realitas semacam ini. Karena negara bukanlah pabrik yang maha besar yang bisa menampung setiap pencari kerja. Negara adalah administrator dan fasilitator supaya hidup berbangsa dan bernegara ini kian baik. Pemerintah setidaknya telah berusaha mencari ”siasat” agar masyarakat bawah tidak terus-terusan terpuruk pada lubang kemiskinan yang akut. Program BLT (bantuan langsung tunai), PMKM Mandiri, dan KUR adalah salah satu upaya pemerintah agar masyarakat dapat memenuhi penghidupannya.

Sebetulnya, mental dan budaya yang melekat di kehidupan masyarakat Indonesia turut andil dalam problem kesejahteraan. Terlampau banyak dari anggota masyarakat yang lebih memilih menunggu ada lowongan pekerjaan ketimbang menggerakkan tangan untuk berusaha membangun kesejahteraan dirinya. Mental pekerja (worker) di negeri ini lebih dominan dari pada kesadaran wirausaha (entrepreneurship).

Di tengah kondisi ekonomi dan sosial bangsa yang belum pulih dari beban berat krisis multidimensi ini, sudah selayaknya banyak orang yang mengubah persepsinya dari “menunggu kerja” menjadi “menjadi pengusaha”,   “menunggu nasib” menjadi “merubah nasib”. Tentu saja, “nasib” yang dimaksud di sini adalah nasib kesejahteraan, untuk diri dan bangsa, sebagaimana pesan Bung Karno, “Jangan tanya, apa yang bisa dilakukan bangsa ini untuk kamu. Tapi, tanyalah apa yang bisa kau lakukan untuk bangsa ini.”

Sayangnya, menumbuhkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membangun usaha sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Minat masyarakat untuk mencari kerja (job seeking) lebih besar ketimbang keinginan untuk berwirausaha (entrepreneurship). Mereka lebih memilih untuk menganggur sambil menunggu lowongan pekerjaan yang tersedia. Kalaupun mereka berhenti kerja lantara terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau sebab lainnya, mereka akan tetap menunggu peluang kerja, alias kembali menganggur. Padahal Indonesia sudah oversuplly pengangguran. Dari tahun ke tahun, jumlah pengangguran bukan turun, malah traffic-nya semakin naik. Itu pun setiap tahunnya harus ditambah dengan para penganggur baru lulus sekolah yang masuk dalam arena para pencari kerja.

Di Indonesia, gerakan kewirausahaan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995 yang didukung langsung oleh Pemerintah melalui INPRES No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Tujuan gerakan ini sungguh positif, yaitu menumbuhkembangkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat baik kalangan dunia usaha, pendidikan maupun aparatur pemerintah. Sayangnya, dalam perjalanannya, gerakan tersebut kurang mendapat dukungan. Memang ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan kepada pembentukan wirausahawan baru serta UKM hanya bersifat politis. Meski banyak seminar, rakor, lokakarya diadakan, namun pada akhirnya Inpres tersebut tidak lebih sekedar retorika dan tidak terinternalisasikan dalam program di instansi-instansi pemerintah, baik di bidang permodalan, perizinan, pemasaran, dan teknisnya.

Karena itu, kita patut berbangga karena kini mulai banyak pihak yang mencoba membangun kesadaran entrepreneurship di kalangan masyarakat dengan mendirikan lembaga kursus usaha, membuat pelatihan wirausaha atau seminar bisnis. Tentu saja, semangatnya tidak seperti di tahun 1995. Tetapi ada semangat baru untuk menjadikan kewirausahaan sebagai alternatif pertama dari sekian macam usaha mencari penghasilan. Juga menumbuhkan kesadaran untuk membentuk pencipta lapangan kerja (job creator) daripada minat mencari kerja semata (job seeker), usaha pihak-pihak yang mencoba membangun kesadaran kewirausahaan tersebut harus kita dukung.


Apalagi jika kesadaran semacam itu juga tumbuh di kalangan masyarakat bawah dengan membangun basis-basis ekonomi tanpa mesti meninggalkan tradisi, budaya serta agama. Bahkan budaya dan agama seharusnya menjadi inspirasi dan motivasi menguatnya ekonomi rakyat. Budaya dan agama tak hanya menjadi bagian pribadi dan spiritualitas, tapi juga menjadi aspek duniawi yang mengarahkan  pemeluknya untuk meraih aspek ilahiyyah. Keseimbangan antara dunia dan akhirat. 

Di sinilah diperlukan kepedulian dan bantuan dari banyak pihak, terutama pemerintah, perbankan dan masyarakat ekonomi atas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mikro, menengah dan kecil. Dengan terciptanya ekonomi mikro yang kuat dengan ekonomi makro yang terus berkembang, maka pondasi ekonomi negara kian sehat. Tak hanya kuat di permukaan, tapi di bawah rapuh. 

Pondok Pesantren sebagai Basis Entrepreneurship

Pondok Pesantren bukan semata-mata institusi pendidikan dan keislaman. Pondok pesantren dimiliki dan dikelola oleh masyarakat berkembang dengan mengikuti gerak laju kebutuhan masyarakat. Maka, saat ini pondok pesantren juga berperan sebagai institusi sosial, ekonomi dan politik. Politik yang disebut di sini bukanlah politik praktis, melainkan politik pemberdayaan masyarakat.

Sebagai insitusi bercorak keagamaan yang menjadi rujukan masyarakat, sudah semestinya pondok pesantren juga terlibat untuk menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat, turut andil menangani problem kemiskinan, dan menawarkan jalan keluar atas problem pengangguran, setidak-tidaknya yang berhubungan dengan kalangan pondok pesantren sendiri, seperti santri, alumni santri dan pengurus pondok.

Seperti diketahui, kompetensi santri adalah di bidang keislaman, khazanah kitab klasik dan hukum Islam (Fiqih). Kompetensi ini melekat kepada santri sebagai basis pengetahuan (knowledge) sekaligus kemampuan (skill). Sehingga alumni pondok pesantren biasanya hanya berkiprah pada bidang keagamaan itu. Sayangnya, kompetensi ini tidak terlalu mendukung jika alumni pondok pesantren (terutama yang dari pondok pesantren salafiyah/tradisional) mulai merambah dunia kerja untuk memenuhi kebutuhannya pasca pendidikan di pondok pesantren. Seringkali alumni pondok pesantren gagap jika dihadapkan pada dunia kerja riil, dan pada gilirannya malah menjadi barisan pengangguran baru.

Pendidikan di pondok pesantren sudah selayaknya juga dilengkapi dengan peningkatan skill pada bidang riil yang dapat menjamin kehidupan para santrinya jika kelak terjun ke masyarakat. Sehingga, tak semestinya alumni pondok pesantren hanya menjadi juru ceramah yang selalu mengandalkan pendapatannya dari undangan berdakwah. Alumni pondok pesantren harus menjadi pribadi-pribadi yang tangguh di bidang agama (spiritual) juga berdaya di bidang usaha (ekonomi). Alumni pondok pesantren bisa saja menjadi sosok tokoh agama yang mumpuni tetapi pengusaha yang sukses dan mencapai free finance (bebas secara keuangan). Dari sinilah perjuangan dakwah bisa ditopang dari pendapatan dan zakat yang dikeluarkan (philantrophy), bukan justru mengharpkan sumbangan dari pihak lain. Di sinilah keseimbangan materi (duniawi) dan keberagamaan (ukhrawi) menemukan bentuk manifestasinya.

Kalangan Santri pada pondok pesantren perlu mendapatkan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (skill) entrepreneurship yang mengantarkan mereka menjadi pengusaha-pengusaha tangguh, yang mengelola ekonomi umat, tetapi memiliki moralitas (attitude) yang terjaga.

Gejala mulai tumbuhnya pondok pesantren sebagai basis entrepreneurship sebetulnya sudah mulai meruyak. Dan ini sungguh membanggakan. Namun, sayangnya belum menjadi fenomena yang massif. Beberapa pondok pesantren memang memiliki unit-unit usaha, tetapi belum menjadi gerakan ekonomi yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan atau menjadi isnpirasi lingkungannya. Pesantren-pesantren semacam ini menjadikan unit usahanya baru sebagai pemasukan sampingan (passive income), belum menjadi core utama pendapatan ekonomis.

Beberapa pondok pesantren dapat diajukan di sini sebagai contoh kongkrit pondok pesantren yang telah menjadikan entrepreneurship sebagai usaha nyata, yaitu pondok pesantren al-Ittifaq Bandung yang menerjuni dunia agribisnis sebagai basis utama usahanya. Juga Pondok Pesantren Sidogiri yang memiliki multi produk dalam skala massif yang diperdagangkan dalam partai besar.

Setidaknya, dengan mulai berkembangnya Pondok Pesantren sebagai basis entrepreneurship yang berwajah spiritual mengulik memori kita akan adanya gerakan Nahdlatut Tujjar pada era tahun 1918 di Jawa Timur yang mematri semangat para Ulama’ dan Kyai untuk membangkitkan kekuatan ekonomi umat.

Saya sedang menyusun buku tentang Entrepreneurship Santri. Mudah-mudahan cepat selesai ya.....

Penulis:
Hamim Enha S.EI.
(Kepala Sekolah Berkarakter SMP Al-Biruni - Direktur Pesantren Motivasi Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar