Kamis, 19 November 2015



Anak Anda Tidak Bodoh
Oleh Hamim Enha

Pagi itu Mak Puji terlihat gundah. Biasanya Mak Puji senang bercengkerama. Orangnya murah senyum dan santun dengan tetangga. Tapi kali ini berbeda. Terlihat raut kegelisahan menghiasi wajah tuanya. Saya mencoba mendekati beliau, “Tumben nih mak pagi-pagi sudah kelihatan sedih?”

“Eh, anu Gus… anu…,” beliau kaget.

“Anu? Kenapa si anu mak?” Saya mencoba mengajaknya becanda.

Sejenak beliau tersenyum. Lalu murung kembali. “Si Amelia gus. Dia nggak dapat rangking di tempat les-nya. Nilainya paling buruk.”

Amelia adalah anak yatim piatu yang ditinggal kedua orang tuanya sejak belia. Ayahnya meninggal dunia sebelum sempat melihat kelahirannya. Nyawa ayahnya tak tertolong karena dia kelebihan dosis saat mengkonsumsi barang haram: Narkoba.

Ibunya juga meninggal dunia ketika usia Amalia baru menginjak 2 tahun. Penyebab kematian ibunya persis seperti yang dialami ayahnya, over dosis penyalahgunaan Narkoba.

Sekarang, Amelia tinggal bersama Mak Puji, neneknya. Setiap bulan kami mengantarkan biaya sekolah dan mengaji di madrasah. Semangat belajar Amelia sebenarnya cukup tinggi. Dia jarang terlihat bolos sekolah. Mengaji pun dia rajin. Terakhir, dia minta untuk bisa ikut les bimbingan belajar. Bahkan, suatu kali Amelia pernah berujar, “Aku ingin pintar mengaji, biar bisa doain bapak dan ibu supaya diampuni Allah.”

Tetapi, sang nenek teramat sayang kepada Amelia. Di usianya yang rentah Mak Puji selalu mengkhawatirkan Amelia yang kini duduk SD kelas 5. Sebenarnya cucu Mak Puji banyak. Dari anak-anaknya yang lain, Mak Puji memiliki beberapa cucu yang juga tinggal bersamanya. Tetapi, jika ada yang terjadi dengan Amelia, Mak Puji yang pertama kali turun tangan. Bahkan, karena nilai bimbingan belajar yang kurang bagus pun, Mak Puji Risau. Mungkin karena dia yatim.


***
Mak Puji boleh jadi khawatir karena dia hanya menyayangi Amelia, tapi tak memahami kecerdasan dan kemampuan Amelia.  Anehnya, keresahan Mak Puji ternyata juga dialami oleh kebanyakan orang tua. Para orang tua bingung setengah mati ketika nilai anak-anaknya di sekolah tak sesuai harapan, atau rangking anaknya berada di “nomor satu” urutan dari belakang. Bagi kebanyakan orang tua, kecerdasan dilihat dari sejauh apa anak mampu mendapatkan nilai. Dan lebih parah lagi, seberapa pintar anak menjawab pertanyaan matematika. Kecenderungan melihat anak hanya dari kecerdasan kognitif inilah yang kemudian secara tidak disadari banyak orang tua dan guru, pelan-pelan, sedang “membunuh” kecerdasan anak yang sesungguhnya.

Kecerdasan yang hanya diasumsikan dengan kemampuan intelejensia sesungguhnya sudah lama di kritik oleh Howard Gardner. Pada tahun 1983 Gardner menulis Frames of Mind yang menunjukkan bahwa kecerdasan juga dipengaruhi oleh budaya tempat anak dilahirkan, sehingga kecerdasan tidak lagi ditafsirkan sebagai kata tunggal dalam wacana kognitif.

“Salah besar apabila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah entitas atau besaran tunggal dan tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas,” demikian Gardner menyatakan.  Gardner menunjukkan bahwa kecerdasan memiliki spectrum yang luas, bahkan menembus dimensi emosional dan spiritualisme, dan di dalamnya tumbuh kemampuan imajinasi, kreativitas, dan problem solving.

Dalam bukunya yang berjudul Intelligence Reframed (1999) Gardner menyatakan bahwa otak manusia setidaknya menyimpan Sembilan jenis kecerdasan, yaitu 1) Kecerdasan linguistic, 2) Kecerdasan logis-matematis, 3) Kecerdasan spasial, 4) Kecerdasan kinestetis, 5) Kecerdasan music, 6) Kecerdasan interpersonal, 7) Kecerdasan intrapersonal, 8) Kecerdasan naturalis, dan 9) Kecerdasan eksistensialis. Gardner bahkan memberikan catatan, baru sembilan kecerdasan itu yang sudah diketahui dan disepakati para pakar pendidikan, psikologi, dan parenting. Sesungguhnya masih banyak kecerdasan yang dimiliki manusia. Tetapi masih masih misteri.

Pada dasarnya, tidak ada anak yang bodoh. Jika anak lemah dalam satu bidang kecerdasan, pasti dia memiliki kecerdasan lain yang lebih hebat. Dan tak ada hubungannya sama sekali antara ranking dan keberhasilan seseorang di masa depan.

Sekali lagi, jika anda berpendirian pada keyakinan bahwa anak-anak pintar adalah mereka yang unggul dalam pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam, eksakta, dan bahasa Inggris, atau jika anda mempertahankan prinsip bahwa hanya anak-anak juara kelas dan rangking terbaiklah yang disebut anak-anak pintar, sementara di luar itu adalah anak-anak bodoh, maka anda sesungguhnya sedang “membunuh kecerdasan” anak anda sendiri.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar