Anak Anda
Tidak Bodoh
Oleh Hamim Enha
Pagi itu Mak Puji terlihat
gundah. Biasanya Mak Puji senang bercengkerama. Orangnya murah senyum dan santun
dengan tetangga. Tapi kali ini berbeda. Terlihat raut kegelisahan menghiasi
wajah tuanya. Saya mencoba mendekati beliau, “Tumben nih mak pagi-pagi sudah
kelihatan sedih?”
“Eh, anu Gus… anu…,”
beliau kaget.
“Anu? Kenapa si anu mak?”
Saya mencoba mengajaknya becanda.
Sejenak beliau tersenyum.
Lalu murung kembali. “Si Amelia gus. Dia nggak dapat rangking di tempat
les-nya. Nilainya paling buruk.”
Amelia adalah anak yatim
piatu yang ditinggal kedua orang tuanya sejak belia. Ayahnya meninggal dunia
sebelum sempat melihat kelahirannya. Nyawa ayahnya tak tertolong karena dia
kelebihan dosis saat mengkonsumsi barang haram: Narkoba.
Ibunya juga meninggal
dunia ketika usia Amalia baru menginjak 2 tahun. Penyebab kematian ibunya
persis seperti yang dialami ayahnya, over dosis penyalahgunaan Narkoba.
Sekarang, Amelia tinggal
bersama Mak Puji, neneknya. Setiap bulan kami mengantarkan biaya sekolah dan
mengaji di madrasah. Semangat belajar Amelia sebenarnya cukup tinggi. Dia
jarang terlihat bolos sekolah. Mengaji pun dia rajin. Terakhir, dia minta untuk
bisa ikut les bimbingan belajar. Bahkan, suatu kali Amelia pernah berujar, “Aku
ingin pintar mengaji, biar bisa doain bapak dan ibu supaya diampuni Allah.”
Tetapi, sang nenek teramat
sayang kepada Amelia. Di usianya yang rentah Mak Puji selalu mengkhawatirkan
Amelia yang kini duduk SD kelas 5. Sebenarnya cucu Mak Puji banyak. Dari
anak-anaknya yang lain, Mak Puji memiliki beberapa cucu yang juga tinggal
bersamanya. Tetapi, jika ada yang terjadi dengan Amelia, Mak Puji yang pertama
kali turun tangan. Bahkan, karena nilai bimbingan belajar yang kurang bagus
pun, Mak Puji Risau. Mungkin karena dia yatim.
***
Mak Puji boleh jadi
khawatir karena dia hanya menyayangi Amelia, tapi tak memahami kecerdasan dan
kemampuan Amelia. Anehnya, keresahan Mak
Puji ternyata juga dialami oleh kebanyakan orang tua. Para orang tua bingung setengah
mati ketika nilai anak-anaknya di sekolah tak sesuai harapan, atau rangking
anaknya berada di “nomor satu” urutan dari belakang. Bagi kebanyakan orang tua,
kecerdasan dilihat dari sejauh apa anak mampu mendapatkan nilai. Dan lebih
parah lagi, seberapa pintar anak menjawab pertanyaan matematika. Kecenderungan
melihat anak hanya dari kecerdasan kognitif inilah yang kemudian secara tidak
disadari banyak orang tua dan guru, pelan-pelan, sedang “membunuh” kecerdasan
anak yang sesungguhnya.
Kecerdasan yang hanya
diasumsikan dengan kemampuan intelejensia sesungguhnya sudah lama di kritik
oleh Howard Gardner. Pada tahun 1983 Gardner menulis Frames of Mind yang
menunjukkan bahwa kecerdasan juga dipengaruhi oleh budaya tempat anak
dilahirkan, sehingga kecerdasan tidak lagi ditafsirkan sebagai kata tunggal
dalam wacana kognitif.
“Salah besar apabila kita
mengasumsikan bahwa IQ adalah entitas atau besaran tunggal dan tetap, yang bisa
diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas,” demikian Gardner menyatakan. Gardner menunjukkan bahwa kecerdasan memiliki
spectrum yang luas, bahkan menembus dimensi emosional dan spiritualisme, dan di
dalamnya tumbuh kemampuan imajinasi, kreativitas, dan problem solving.
Dalam bukunya yang
berjudul Intelligence Reframed (1999) Gardner menyatakan bahwa otak
manusia setidaknya menyimpan Sembilan jenis kecerdasan, yaitu 1) Kecerdasan
linguistic, 2) Kecerdasan logis-matematis, 3) Kecerdasan spasial, 4) Kecerdasan
kinestetis, 5) Kecerdasan music, 6) Kecerdasan interpersonal, 7) Kecerdasan
intrapersonal, 8) Kecerdasan naturalis, dan 9) Kecerdasan eksistensialis.
Gardner bahkan memberikan catatan, baru sembilan kecerdasan itu yang sudah
diketahui dan disepakati para pakar pendidikan, psikologi, dan parenting.
Sesungguhnya masih banyak kecerdasan yang dimiliki manusia. Tetapi masih masih
misteri.
Pada dasarnya, tidak ada
anak yang bodoh. Jika anak lemah dalam satu bidang kecerdasan, pasti dia
memiliki kecerdasan lain yang lebih hebat. Dan tak ada hubungannya sama sekali
antara ranking dan keberhasilan seseorang di masa depan.
Sekali lagi, jika anda
berpendirian pada keyakinan bahwa anak-anak pintar adalah mereka yang unggul
dalam pelajaran matematika, ilmu pengetahuan alam, eksakta, dan bahasa Inggris,
atau jika anda mempertahankan prinsip bahwa hanya anak-anak juara kelas dan
rangking terbaiklah yang disebut anak-anak pintar, sementara di luar itu adalah
anak-anak bodoh, maka anda sesungguhnya sedang “membunuh kecerdasan” anak anda
sendiri.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar