Esok hari tepat tanggal 9 Juli 2014. Indonesia akan merayakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru yang akan menjadi Presiden untuk masa waktu 5 tahun ke depan.
Sudah sejak lama sebetulnya saya membangun gagasan agar entitas keagamaan seperti pesantren melakukan politik kebangsaan. Yaitu sebuah kesadaran politik untuk terlibat dalam proses demokrasi untuk mewujudkan bangsa yang adil, makmur, dan negara yang melindungi warganya. Pesantren sudah selayaknya tidak menarik diri dari hiruk-pikuk pesta demokrasi. Pesantren justru perlu memainkan perannya untuk mengajak sebanyak mungkin umat agar terlibat dalam proses demokrasi dan memilih pemimpin yang adil, amanah, dan jujur.
Pemimpin yang ideal seperti itu hanya ada jika pemimpin mau dan bersedia untuk terus belajar. Pemimpin- siapa pun dia- jika merasa lebih tahu segalanya dan tidak mau belajar dalam kehidupan ini, maka secara perlahan, kepemimpinannya akan terdegradasi. Bukan menjadi pempimpin yang melayani, tetapi pemimpin yang otoriter dan memperkaya diri sendiri.
Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyatnya. Dengan lebih dekat dengan rakyatnya pemimpin itu akan banyak mendapat informasi langsung berdsarkan fakta yang ada dan pelajaran tentang seharusnya dikerjakan untuk kemakmuran rakyatnya.
Mari kita menyimak cerita Umar Ibn Khattab berikut ini yang bersedia berguru kepada seorang wanita tua:
Suatu ketika, bencana kelaparan hebat melanda wilayah Arabiah Utara. Khalifah Umar Ibn al-Khattab melewati hari-harinya tanpa istirahat dan tidak bisa tidur memikirkan cara menanggulangi bencana tersebut. Ia bersumpah tidak akan menikmati makanan enak, tidak menyentuh susu dan mentega sampai kelaparan berakhir.
Bencana itu disusul dengan wabah sampar yang mematikan yang menyebar di Syria. Khalifah Umar mengambil untanya dan berangkat ke Syria untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Dalam perjalanan pulang dari Syria, Umar melihat sebuah tenda kecil yang menarik perhatiannya. Ia melihat seorang wanita lanjut usia di pintu tenda itu.
Khalifah Umar menyapa, "Wahai Ibu, apakah anda mengetahui tentang Khalifah Umar?"
"Ia sedang dalam perjalanan pulang dari Syria ke Madinah," jawab si wanita.
"Apalagi yang engkau ketahui?" tanya Umar menyelidik.
"Apalagi yang perlu diketahui dari orang jahat itu? Biarkan dia pergi ke tempat yang buruk"
"Mengapa begitu, wahai ibu?"
"Mengapa tidak, Dia tidak memberi kami apa-apa hingga sekarang," jawab wanita itu ketus.
"Tetapi bagaimana ia tahu segala sesuatu yang terjadi di wilayah yang jauh ini?"
"Jika tidak tahu kondisi rakyatnya, mengapa masih ia tetap menjabat sebagai khalifah?
Umar pun memberi hormat kepada wanita itu seraya berkata, "Ibu, anda telah memberi Umar pelajaran".
Penulis:
Hamim Enha - Guru di SMP Al-Biruni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar