Visi dan arah pendidikan adalah terwujudnya manusia pembelajar yang tidak hanya berkualitas pada penguasaan ilmu pengetahuan (Knowledge) semata, namun juga memiliki karakter yang baik dan moralitas yang unggul (spirit and morality). Dua hal ini bak dua sisi pada satu koin, yang jika salah satu di antaranya dinegasikan, maka visi pendidikan menjadi timpang dan tak berarah.
Pendidikan juga semestinya melahirkan manusia-manusia yang
tangguh dan memiliki spirit kompetensi yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan
zaman. Karenanya, pendidikan dituntut tak hanya melahirkan manusia-manusia yang
menguasai eksakta dan sains, tetapi juga melahirkan manusia-manusia yang mampu menghadapi
realitas dengan mengembangkan segenap sumber daya yang ada, serta memiliki
akhlak yang unggul. Jika yang pertama lebih menitikberatkan pada hard skill dan
berorientasi pada Intelegent Quotient (IQ), maka yang kedua lebih menekankan
pada soft skill dan berorientasi pada Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual
Quotient (SQ). Sumber daya manusia Indonesia pada masa-masa mendatang
seyogyanya memiliki keseimbangan antara hard skill, soft skill, dan spiritual-nya.
Antara IQ, EQ, SQ-nya.
Namun, kerap kali pendidikan terjebak pada kehendak
menjadikan manusia yang cerdas dan akademik, namun terasing dari dunia
sekelilingnya. Pendidikan seringkali hanya menjadi sekedar institusi formal yang
menjanjikan harapan kemampuan intelektual atas teori dan dalil ilmiah, namun
tak memahami realitas yang sesungguhnya.
Masyarakat mempercayakan pendidikan dan keagamaan anak-anaknya
kepada lembaga pendidikan seperti sekolah karena percaya bahwa sekolah formal
adalah satu-satunya institusi pendidikan dan sumber ilmu pengetahuan. Namun,
Ivan Illich (2000) mengingatkan, sekolah formal sering membelenggu anak didik
dari kesadaran terhadap realitas.
Sekolah formal menyampaikan pengetahuan agar intelek mampu
memahami realitas, padahal realitas yang ditangkap oleh daya intelek selalu
berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu dan ruang.
Karenanya, sekolah yang hanya terobsesi pada penguasaan sains dan ilmu
pengetahuan kerap menjadikan anak didik jauh dari realitas, atau bahkan anti
realitas.
Lebih jauh, Paulo Freire (1999) mengatakan, bahwa sekolah
formal memberikan kemampuan anak didik untuk “menafsiri” realitas yang
dihadapi, namun tidak mampu “merubah”
realitas dirinya sendiri.
Oleh karenanya, penting adanya merubah paradigma pendidikan
dari sekedar mengembangkan kemampuan hard skill anak didik, menjadi sebuah
paradigma yang menyelaraskan kemampuan hard skill anak didik dengan hard
skillnya. Jika kemampuan hard skill tumbuh baik tanpa diimbangi adanya soft
skill, dikhawatirkan anak didik menjadi gamang dalam menghadapai masa depannya.
Pesantren Motivasi Indonesia merupakan lembaga pendidikan
dan pendampingan yang didirikan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa, memberikan pendampingan kepada anak-anak yang membutuhkan curahan kasih
sayang, dan membangun karakter anak bangsa agar mampu berdiri gagah di hadapan
bangsa-bangsa yang lain.
Pesantren Motivasi Indonesia yang bernaung di bawah payung
Yayasan Istana Yatim Nurul Mukhlisin mengedepankan penguatan karakter pada anak
didik santrinya. Karakter di sini dipahami sebagai kualitas mental yang
menonjol dan berpola, yang dengan karakter itu anak didik santri memiliki nilai
lebih dan deferensiasi dari anak yang lainnya, baik dari sisi keilmua, akhlaq
mulia, maupun spirit kemanusiaannya. Maka, dengan pengembangan karakter sebagai
basisnya, Pesantren Motivasi Indonesia berusaha membingkai
kecerdasan-kecerdasan anak didik santri dengan keseimbangan antara Intelejent
Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient
(SQ), dan Physical Quotient (PQ)
Pada penerapannya, Pesantren Motivasi Indonesia mewujudkannya
dalam SAHIH Indikator, yaitu Spiritual (S), Attitude (A), Habit
(H), Intelectual (I), dan Healthy (H). Perpaduan pembangunan
aspek spiritualitas anak, sikap diri yang patut, kebiasaan yang positif,
kecerdasan intelektual yang terus bertumbuh, dan kesehatan anak yang prima
diharapkan dapat mendorong anak-anak didik santri mendapatkan karakter yang
unggul dan kompetensi terbaiknya.
Untuk mewujudkan idealitas tersebut, dibutuhkan agregat dan
gerak yang dinamis, berkesinambungan, dalam pendampingan pesantren 24 jam.
Karenanya, pendidikan formal dirasa belum mencukupi untuk menggerakkan visi
tersebut, mengingat pendidikan formal harus ditentukan dengan kurikulum yang
ditetapkan oleh pemerintah, diawasi dengan pola tertentu, dan bisa jadi tidak
berkorelasi dengan visi yang diusung oleh pesantren. Di sisi lain, anak didik
santri memiliki hak untuk mengakses pendidikan dengan kompetensi yang
dicanangkan oleh pemerintah.
Demi berjalannya visi yang diidealkan oleh Pesantren
Motivasi Indonesia dan harapan yang diusung oleh pemerintah, maka pendidikan
informal menjadi salah satu pilihan untuk menyambungkan dua aras tersebut.
Sekolah pesantren (Pesantren Schooling) adalah
istilah yang digunakan untuk memberikan akses kepada anak didik santri untuk
bisa bersekolah dengan kurikulum yang dimodifikasi agar selaras dengan visi
pesantren. Pesantren Schooling memfasilitasi kegiatan belajar mengajar ala
sekolah, di waktu sekolah, dan dalam beberapa hal dengan menggunakan metode
pembelajaran sekolah. Hanya saja, bobot materi pembelajaran, kurikulum yang
diterapkan, dan pola pembelajaran dirancang secara bebas dengan menyesuaikan
kebutuhan anak didik santri yang multiple intelijent.
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai instrument
lembaga pendidikan informal yang disediakan oleh pemerintah menjadi pilihan
agar anak-anak didik santri di Pesantren Motivasi Indonesia berada pada
jangkaun komitmen pendidikan pemerintah yang amanahkan oleh Undang-Undang
Pendidikan No. 20 tahun 2003.
Oleh: Hamim Enha Gipo
(Pendamping anak di Pesantren Motivasi Indonesia Bekasi)