Rabu, 19 Agustus 2015

PKBM NURUL MUKHLISIN: Transformasi dari Sekolah Formal Menuju Sekolah Pesantren



Visi dan arah pendidikan adalah terwujudnya manusia pembelajar yang tidak hanya berkualitas pada penguasaan ilmu pengetahuan (Knowledge) semata, namun juga memiliki karakter yang baik dan moralitas yang unggul (spirit and morality). Dua hal ini bak dua sisi pada satu koin, yang jika salah satu di antaranya dinegasikan, maka visi pendidikan menjadi timpang dan tak berarah.

Pendidikan juga semestinya melahirkan manusia-manusia yang tangguh dan memiliki spirit kompetensi yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman. Karenanya, pendidikan dituntut tak hanya melahirkan manusia-manusia yang menguasai eksakta dan sains, tetapi juga melahirkan manusia-manusia yang mampu menghadapi realitas dengan mengembangkan segenap sumber daya yang ada, serta memiliki akhlak yang unggul. Jika yang pertama lebih menitikberatkan pada hard skill dan berorientasi pada Intelegent Quotient (IQ), maka yang kedua lebih menekankan pada soft skill dan berorientasi pada Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Sumber daya manusia Indonesia pada masa-masa mendatang seyogyanya memiliki keseimbangan antara hard skill, soft skill, dan spiritual-nya. Antara IQ, EQ, SQ-nya.

Namun, kerap kali pendidikan terjebak pada kehendak menjadikan manusia yang cerdas dan akademik, namun terasing dari dunia sekelilingnya. Pendidikan seringkali hanya menjadi sekedar institusi formal yang menjanjikan harapan kemampuan intelektual atas teori dan dalil ilmiah, namun tak memahami realitas yang sesungguhnya.

Masyarakat mempercayakan pendidikan dan keagamaan anak-anaknya kepada lembaga pendidikan seperti sekolah karena percaya bahwa sekolah formal adalah satu-satunya institusi pendidikan dan sumber ilmu pengetahuan. Namun, Ivan Illich (2000) mengingatkan, sekolah formal sering membelenggu anak didik dari kesadaran terhadap realitas.

Sekolah formal menyampaikan pengetahuan agar intelek mampu memahami realitas, padahal realitas yang ditangkap oleh daya intelek selalu berubah terus, dinamis dan bersifat terbatas, baik dari sudut waktu dan ruang. Karenanya, sekolah yang hanya terobsesi pada penguasaan sains dan ilmu pengetahuan kerap menjadikan anak didik jauh dari realitas, atau bahkan anti realitas.

Lebih jauh, Paulo Freire (1999) mengatakan, bahwa sekolah formal memberikan kemampuan anak didik untuk “menafsiri” realitas yang dihadapi,  namun tidak mampu “merubah” realitas dirinya sendiri.

Oleh karenanya, penting adanya merubah paradigma pendidikan dari sekedar mengembangkan kemampuan hard skill anak didik, menjadi sebuah paradigma yang menyelaraskan kemampuan hard skill anak didik dengan hard skillnya. Jika kemampuan hard skill tumbuh baik tanpa diimbangi adanya soft skill, dikhawatirkan anak didik menjadi gamang dalam menghadapai masa depannya.

Pesantren Motivasi Indonesia merupakan lembaga pendidikan dan pendampingan yang didirikan untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, memberikan pendampingan kepada anak-anak yang membutuhkan curahan kasih sayang, dan membangun karakter anak bangsa agar mampu berdiri gagah di hadapan bangsa-bangsa yang lain.

Pesantren Motivasi Indonesia yang bernaung di bawah payung Yayasan Istana Yatim Nurul Mukhlisin mengedepankan penguatan karakter pada anak didik santrinya. Karakter di sini dipahami sebagai kualitas mental yang menonjol dan berpola, yang dengan karakter itu anak didik santri memiliki nilai lebih dan deferensiasi dari anak yang lainnya, baik dari sisi keilmua, akhlaq mulia, maupun spirit kemanusiaannya. Maka, dengan pengembangan karakter sebagai basisnya, Pesantren Motivasi Indonesia berusaha membingkai kecerdasan-kecerdasan anak didik santri dengan keseimbangan antara Intelejent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Physical Quotient (PQ)

Pada penerapannya, Pesantren Motivasi Indonesia mewujudkannya dalam SAHIH Indikator, yaitu Spiritual (S), Attitude (A), Habit (H), Intelectual (I), dan Healthy (H). Perpaduan pembangunan aspek spiritualitas anak, sikap diri yang patut, kebiasaan yang positif, kecerdasan intelektual yang terus bertumbuh, dan kesehatan anak yang prima diharapkan dapat mendorong anak-anak didik santri mendapatkan karakter yang unggul dan kompetensi terbaiknya.

Untuk mewujudkan idealitas tersebut, dibutuhkan agregat dan gerak yang dinamis, berkesinambungan, dalam pendampingan pesantren 24 jam. Karenanya, pendidikan formal dirasa belum mencukupi untuk menggerakkan visi tersebut, mengingat pendidikan formal harus ditentukan dengan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, diawasi dengan pola tertentu, dan bisa jadi tidak berkorelasi dengan visi yang diusung oleh pesantren. Di sisi lain, anak didik santri memiliki hak untuk mengakses pendidikan dengan kompetensi yang dicanangkan oleh pemerintah.

Demi berjalannya visi yang diidealkan oleh Pesantren Motivasi Indonesia dan harapan yang diusung oleh pemerintah, maka pendidikan informal menjadi salah satu pilihan untuk menyambungkan dua aras tersebut.

Sekolah pesantren (Pesantren Schooling) adalah istilah yang digunakan untuk memberikan akses kepada anak didik santri untuk bisa bersekolah dengan kurikulum yang dimodifikasi agar selaras dengan visi pesantren. Pesantren Schooling memfasilitasi kegiatan belajar mengajar ala sekolah, di waktu sekolah, dan dalam beberapa hal dengan menggunakan metode pembelajaran sekolah. Hanya saja, bobot materi pembelajaran, kurikulum yang diterapkan, dan pola pembelajaran dirancang secara bebas dengan menyesuaikan kebutuhan anak didik santri yang multiple intelijent.

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) sebagai instrument lembaga pendidikan informal yang disediakan oleh pemerintah menjadi pilihan agar anak-anak didik santri di Pesantren Motivasi Indonesia berada pada jangkaun komitmen pendidikan pemerintah yang amanahkan oleh Undang-Undang Pendidikan No. 20 tahun 2003.

Oleh: Hamim Enha Gipo
         (Pendamping anak di Pesantren Motivasi Indonesia Bekasi)